Berbesar Hati dan Rasa Memiliki

Saya datang terlambat karena ada hal yang harus saya kerjakan waktu itu. Duduklah saya dan ternyata kegiatan baru dimulai. Saya mendengarkan pengakuan dosa dari teman teman yang bertugas di acara kemarin. Pengakuan dosa saya hanya bilang “Hanya Tuhan dan pelatih yang tahu saya salah dimana saja”.

Lupakan soal kesalahan kesalahan saya. Saya belum selesai menerawang apa yang sudah saya lakukan pada penampilan kemarin, sampai pelatih kami tiba tiba terisak. Saya tertegun, bingung. Sebenarnya ada apa dengan beliau. Saya pikir beliau marah dan kecewa karena banyak dari kami yang bleng dan tidak bisa memainkan permainan dengan baik. Atau, mungkin beliau marah karena kami dianggap belum maksimal dalam menjalankan manajerial keseluruhan aspek pertunjukan kemarin. Ternyata dugaan saya semua salah. Bukan karena itu. Beliau sedih karena kami dan salah satu penampil lainnya seperti kurang dihargai.

Cerita bermula ketika dalam sebuah acara, ada pertunjukan dimana ternyata seseorang penampil penting di dalamnya mengucapkan kata kata yang kurang berkenan bagi sebagian orang. Alih alih mengucapkan nama penampil lainnya yang mempunyai tugas lebih krusial, beliau salah mengucapkan nama lainnya. kalau boleh jujur, sebenarnya sangatlah fatal. Fatal karena mungkin memang benar bahwa kejadian tersebut terkesan kerja keras yang selama coba untuk dibangun dan dipertahankan seolah tidak mendapatkan penghargaan yang baik.

Itulah yang membuat pelatih saya bersedih bahkan sampai menitikkan air mata. Beliau orang yang lembut. Saya sungguh tidak sampai hati. Saya melihat semua orang juga tidak sanggup menatap beliau. semua orang menunduk, ikut merasakan sedih. Mungkin hanya saya yang masih menatap beliau. meskipun kemudian saya membuang muka ke arah lain karena tidak tega. Saya tidak menitikkan air mata bukan berarti saya tidak merasakan kesedihan. Saya bersedih dan sekaligus terharu walaupun saya tidak menangis. Bersedih karena memang kami merasa kurang dihargai. Terharu karena ternyata begitu baiknya pelatih kami ini. Saya tidak pernah menyangka seseorang yang begitu penting, begitu kami hormati menangis untuk kami, dua anaknya.

Beliau menasihati kami untuk berbesar hati dan mengikhlaskan hal tersebut. Tentu saja saya setuju. Memang kejadian tersebut cukup membuat banyak orang mempertanyakan ada apa sebenarnya yang terjadi. Mengapa yang disebut hanya satu pihak saja. Mengapa tidak semua pihak yang terlibat. Namun mau bagaimana lagi, nasi sudah menjadi bubur. Tidak ada yang perlu disesali. Lagipula kami melakukan pertunjukkan bukan karena ingin mendapatkan nama. Nama penting namun bukan hal utama yang ingin dikejar. Kami melakukan sesuatu ikhlas dari hati, bukan karena ingin popular.

Leave a comment