Author: AD Putri

About AD Putri

Belajar itu bukan soal nilai yang nampak semata. Tapi pembelajaran yang didapatkan selama mengarungi ganasnya lautan kehidupan. Bukan nilai yang terpampang wah di depan mata, tapi nilai yang disarikan dari proses kehidupan. Karena hidup adalah proses, bukan hanya sekedar hasil. A young muslim woman under 30 y.o who lives in Java Island, Indonesia. Prefer Katniss Everdeen than Bella Swan. Enjoying traveling and all about culinary matter. Feel free to contact: heezland@gmail.com IG @adputrii

Perawatan Saluran Akar Gigi

Sejak akhir tahun 2016 saya mengalami masalah pada gigi. Entah berlubang, geraham miring sampai tambalan yang bocor. Tidak terhitung berapa kali saya dalam setahun ngapeli dokter gigi saya. Pokoknya sebulan aja bisa minimal sekali ke dokter. Belum kalau tetiba ada masalah apapun, bisa nambah frekuensi.

Untuk pertama kalinya saya kecewa dengan performa Asus. Ponsel Asus pertama saya, berwarna merah kecil mungil yang menurut saya imut imut di genggaman, sampai sampai saya lapisi kuteks metalik warna marun saking saya anggap ponsel ini performanya masih bagus.

Penguntit

Tidak pernah terpikir oleh saya jika beberapa malam lalu saya dikuntit oleh anak anak usia kelas satu SMP. Saya yang habis pulang cuci mata di Paskal, jalan kaki menuju rumah.

Hanya berjarak 50 m di depan saya, ada anak kecil berhoodie hitam kaos putih dan celana kotak kotak selutut. Saya pikir dia pejalan kaki sama seperti saya. Intuisi saya tidak enak. Si anak berambut cepak dan berkulit terang ini mengikuti saya hingga arah rumah kosan. Saya lurus dia ikut lurus. Saya belok dia mengikuti. Saya nyeberang dia pun di belakang. So damn banget lah. Tapi saya masih positif thinking, oh mungkin dia takut untuk jalan sendirian. Jadi dia ngikut saya yang lebih tua. Dan sialnya gang arah rumah kosan sangat sepi. Hanya ada mobil terparkir. Ada sih satpam hotel yang biasa berjaga tapi posisi mereka jauh dari saya.

Saya yang curiga, menghentikan langkah dan pura pura mengecek hape. Tapi mata saya tidak lepas dari si anak yang sudah berjalan mendahului saya. Saya masukkan kembali ponsel ke saku celana. Saya menyeberang ke sisi selokan lain di jalan. Saya lihat anak itu berjalan semakin pelan bahkan menyeringai ke arah saya. Tak lama, ia berbalik arah. Kemudian ia berlari menuju saya sambil merengkuhkan tangannya entah ingin menyerang entah ingin mengambil ponsel. Saya mengantisipasi kejadian ini, setengah meter jaraknya dari saya , saya berteriak. Ternyata jeritan saya membuatnya kaget dan berjalan mundur. Saya tak melepaskan mata saya dari langkahnya. Ia lalu lalang bak orang linglung di depan saya kemudian berbalik arah menjauh. Jarak kosan yang hanya 100 meter lagi tidak membuat saya meneruskan perjalanan. Saya malah lebih memilih mengikuti kemana anak ini pergi, yang dengan bodohnya saya kehilangan jejaknya karena sibuk pesan gojek. Haha. Dudul.

Saya berjalan menjauhi lokasi kejadian menuju pertigaan ramai lalu lalang orang. Saya pun bercerita juga pada satpam hotel yang saya kenal. (Beliau beliau menasihati saya besok besok jika saya butuh bantuan, saya tidak boleh diam). Saya pikir jika si anak kurang ajar ini masih berada di sekitar pertigaan dan masih mengintai saya, ia tidak akan niteni saya. Khawatirnya kalau dia menandai kosan saya masih daerah sana. Maka saya putar arah pakai gojek. Padahal kalau mau jalan sih kosan cuma 5 menit. Tapi demi keselamatan, saya lebih baik memilih jalan lain.

Sembari perjalanan pulang ke rumah, saya mikir dengan keras. Si anak ini maunya apasih. Ngelihat tatapannya, seringainya, caranya jalan. Ini anak apa habis ngelem, apa dia lagi menjalani tantangan dari gengnya, apa lagi bingung nyari duit buat jajan, apa sebenernya dia adalah setan berambut hitam yang ditugaskan pimpinanya buat nakut nakutin macam di casper, apakah dia sebenarnya casper, apa pengen punya hape, apa dia cuma iseng, apa emang nyari korban yang dia bisa perdaya diambil barang barangnya, dan  banyak alasan baik masuk akal atau tidak masuk akal lainnya. Geblek banget ngikutin orang yang enggak dia kenal. Jalan ikut jalan, belok ikut, nyeberang barengan. Kan nggak faedah banget -.-. Rasa rasanya saya ingin menasihati dia. Dek, kakak pernah seusia kamu. Jadi, sebaiknya kamu pulang aja kerjain PR matematika buat besok daripada kamu disetrap suruh hormat bendera hari sabtu nun panas panas. Kamu mau jambret saya, hape saya hape murah. Dijual juga nggak dapat apa apa. Entar keluarga sama pacar saya mau ngontak saya gimana. Saya nggak bawa perhiasan. Nggak punya saking dulu ilang mulu akhirnya orang tua males mau beliin. Saya nggak bawa uang juga. Nggak hobi bawa uang banyak banyak di dompet karena emang nggak ada duit. Lagi seret keuangannya. Ada juga seribuan sisa kembalian beli sarapan. Jadi, kamu mau jambret saya apa kalo di tas ransel cuma ada setumpuk kertas coretan kerjaan macam coret coret anak kelas 6 SD ikut Ujian Nasional, sama tisu dan UC 1000 rasa jeruk karena saya lagi drop. Duhh dek.. semoga kamu insap yak. Semoga nggak ada korban lain -.-

Takut? Jelas. Kita tidak pernah tahu isi hati orang dan apa sebenarnya yang dia inginkan. Tapi untungnya saya bisa bersikap tenang. Kalau saya panik pasti saya udah lari duluan. Atau mungkin saya akan lari ke arah kosan, malah bikin si anak gendheng ini ngerti lokasi kosan saya. Besok besok dia bisa ngetem di gang depan kosan kan ngeri. Jadi saya merasa keputusan saya untuk berbalik arah mengikuti dia dan pesan gojek sudah sangat tepat. Anyway, entah kenapa rasanya seperti de javu. Seolah saya pernah mengalami kejadian ini nun jauh sekian lama waktu yang lalu. Dan.. selalu syukur saya untuk Tuhan Maha Melindungi. Saya bisa pulang sehat dan selamat tanpa kurang suatu apapun.

Perawatan Orthodonti

Saya sudah harus melakukan prrawatan orthodonti bahkan sejak masih TK. Saya ingat betul waktu itu bapak dan ibu membujuk saya untuk bertemu dokter gigi dan saya selalu terbujuk rayu mau. Tapi ujung ujungnya mereka gigit jari karena saya menangis minta pulang. Sudsh dibelikan jajan yang saya suka,diturutin apa yang saya mau tapi akhirnya sama emoh dirawat dan mau crpet cepet pulang.

Dua puluh tahun kemudian, saya merasakan betul bagaimana gigi gigi saya bermasalah. Mulai dari geraham yang harus ditambal, ngilu, karang gigi, impaksi dan gigi yang semakin tidak teratur. Baru setelah timbul masalah saya kelabakan mencari opinion opinion bagaimana saya harus merawat aset saya ini. Kenyataan dalam keluarga, gigi gigi anggota keluarga besar saya memang tumbuh kurang rapi dan sering saya temukan karies parah. Ibu saya giginya pun sudah parah kondisinya. Ibu mengalami kesulitan mengunyah karena banyak giginya yang tanggal karena peeawatan yang tidak benar. Nenek saya apalagi. Gigi palsunya bahkan patah sebagian akibat jatuh di kebun ketika membawa kayu bakar. Dan pada akhirnya saya pun say yes untuk menandatanganj seluruh tindakan yang akan dilakukan pada gigi saya. Tentu saja untuk satu hal; menyelamatkan hari tua saya maka saya siap bersakit sakit dahulu saat ini. I hate pain but I must. Ouchhh.

Struktur gigi saya pun dibilang rapi sih masuknya rapi juga. Dibilang enggak rapi, ya emang besar besar dan berjejal. Tinglat kerapiannya sih emang nggak parah banget cuma memang ada beberapa masalah sepeeti gigi geraham 24 yang mundur melebihi gigi gigi lain. Ada kemungkinan dia akan terus tumbuh tidak karuan kalau dibiarkan. Belum gigi gihi seri saya yang mengalami prostrution alias tumbuh ke depan. Rahang atas lebih maju daripada rahang bawah. Gigi gigi saya yang mengalami fisur silent dan endebray endebray.

Tahun lalu saya sudah menyelesaikan satu PR: operasi odontektomi (pengambilan empat gigi geraham bungsu yang tumbuh miring). Hasilnya? Rahang saya terasa lebih enak. Udah nggak sakit (karena ternyata si gigi molar bungsu saya dulu kariesnya sudah dalam). Tahun ini PR saya: penghilangan karang gigi dan perawatan orthodonti.

Selama puluhan tahun, baru tahun ini saya melakukan pembersihan karang gigi. Banyak nggak?berapa gigi yg dibersihkan? Kebetulan nggak semua karena dr gigi saya hanya menemukan sedikit karang di bagian gigi seri dan satu buah di geraham kanan. Rasanya? Ngilu. Haha. Saya nggak akan bohong kalau memang rasanya sengkring sengkring ngilu. Gusi saya juga berdarah darah. Bahkan pasca dibersihkan kalau saya menarik napas dari mulut dan udara mengenai sela sela gigi, rasanya duh.. Hahaha. Tapi tenang. Bukan ngilu yang parah banget kok. Dikiiit kok ngilunya. Sebentar juga sembuh :D.

2.orthodonti

Well, sekarang saya akan cerita soal pengalaman perawatan orthodonti alias pengawatan alias behel. Kenapa saya harus perawatan ortho? Sama seperti yang saya ceritakan di awal: karena gigi saya bermasalah. Struktur tidak rata, prostrution agar saya lebih mudah perawatan ke depannya. Menjaga aset pengunyahan agar pencernaan saya lebih baik. Sekaligus pencegahan karies dan pengontrolan kondisi gigi lebih rutin dengan ahlinya. Sekaligus membentuk budaya kontrol di keluarga saya. Sikat gigi dengan sikat dan pasta yang tersertifikasi sekalipun tidak akan pernah cukup menyelamatkan gigi kita. Kita butuh orang lain yang paham dan bisa (baca: dokter gigi betulan yang telah menyelesaikan kompetemsi dan berpengalaman dalam bidangnya. BUKAN ahli gigi yang plangnya di sepanjang pasar itu). Di generasi mendatang, saya akan rutin mengajak anak anak saya untuk kontrol gigi. Biar nggak harus mengalami kerusakan yang menurut saya sudah terlambat untuk ditangani (saya baru datang ke dokter ketika masalah gigi sudah agak parah).

Saya mencari informasi dari berbagai sumber mengenai seluk beluk orthodonti, siapa dokternya, dimana bisa perawatan, harganya gimana, perawatan pascanya harus gimana dan banyak aiueo lainnya. Dari beberapa klinik, saya memutuskan untuk melakukan perawatan di Bandung karena saya berdomisili di Bandung untuk saat ini. Tadinya mau di Jogja. Tapi ribet proses perawatan pasca pasangnya. Kalau harus pertiga minggu bolak balik jogja, benar benar akan costly money dan remuk badan buang buang energi. Maka ruang dimana dan siapa kemana saya harus dirawat saya persempit jadi dibandung saja. Lagi lagi saya cari klinik klinik yang katanya recomended. Ada klinik yang kayaknya bagus tapi mehongnya cyinnn.. Kemudian saya punencari info ke RSKGM Unpad di jalan sekeloa sana. Murce sih. Kurang lebih 2,5 jut sampe 3,5 jut. Tapi yang bikin gedeg adalah antrian kita yang sampe 400 orang dimana kita baru dipanggil 4-6 bulan lagi dan baru dikenai tindakan 6 bulan kemudian. Pahit pahitnya setahun lah. Kenapa bisa selama itu? Karena animo warga yang luar biasa. Kapan lagi dirawat sama calon dokter ortho beneran dengan harga miring buanget. Jelas ada gula ada semut. Semua orang langsung ngerubung.

Berkat beberapa informasi saya mencari info ke RSGM Bandung di jalan citarum. Itu tuh yang sebelahan sama RSIA Limijati yang juga tetanggaan sama Supermarket Yogya Riau. Sama seperti RSKGM Unpad, di RSKGM Riau pun ada waktu tunggu. Setelah saya diperiksa dokter, beliau bilang baru ada slot nanti tiga bulan ke depan. Biayanya pun kira kira 4 jut-5 jut. Nah lho.. Lebih mahal daripada Unpad tapi waktu tunggu lebih singkat. Lebih murah dari klink ortho sejenis tapi meski murah, yang menangani tetap dokter ortho betulan. Akhirnya saya say yes untuk masuk waiting list dr. Ortho.

Well, kenapa tidak ke ahli gigi?. Jelas akan sangat murah pake banget ketika pasang behelnya di ahli gigi. Tapi sebagai warga Indonesia jaman naw yang lebih percaya pada dokter yang udah capek capek belajar bertahun tahun demi mendalami keahlian restorasi kesehatan gigi, tentunya saya akan meragukan skill ahli gigi pada kesehatan gigi saya pasca perawatan. Yang mengerikan adalah ketika terjadi kerusakan lebih parah dan saya tetapharus rujulk

Antri

Menunggu adalah hal yang menjemukan. Tentu. Dimanapun, menunggu (apalagi tanpa kepastian) akan menjadi sebuah hal yang membosankan. Wait, saya tidak sedang nulis hal baper baperan. Ini tentang antrian di negeri kita.

Untuk mengakomodir orang orang yang memenuhi sebuah tempat untuk sebuah keperluan, maka dibuatlah sistem antrian. Sebuah sistem yang diharapkan bisa menjadi win win solusion bagi pengelola administrasi dan customer. Sarana memaksa customer untuk tertib administrasi sekaligus jadi jalan paling ‘fair’ untuk menyeleksi siapa saja yang berhak mendapat pelayanan (di hari itu). Siapa trat antri, maka telat entry. Dipastikan tiket habis. Juga, meredam kebrutalan orang Indonesia yang hobi banget main serobot (terutama emak emak. Bukan saya mengejudge emak emak, tapi kenyataanya emang banyak :D)

Akan tetapi antrian yang menyebalkan itu terkadang (bahkan seringkali) tidak diimbangi dengan pengelolaan yang baik. Dengan kata lain, human errornya banyak. Entah si administrator sdmnya kurang baik, personil administrasinya kurang atau justru memang si customer yang nggak beres. Entah yang kurang berkas lah, udah dipanggil tapi nggak dateng, dan lain lain.

Yang paling eneg adalah kita sudah bangun pagi, ngantri dari jam 06.30, tapi si administrator bilang bahwa nomor antrian habis padahal saya sudah menunjukkan bukti kalau saya sudah janjian dengan dokter. Helllaaawwww.. Tidak bisakah orang orang yang sudah janjian diberikan slot khusus untuk maju dulu. Bukankah ‘ datang jam 7’ memberikan harapan bahwa saya akan dapat pelayanan pukul tujuh itu juga?. Dan saya ontime!  Si embak embak jutek yang nggak ada senyumnya ini tidak juga memberitahukan bagaimana atau sebaiknya saya harus kemana. Cuek weh. Kumaha ieu. Harus ditraining hospiltality ini. Lebih eneg lagi ternyata saya harus ambil nomor antrian lagi dan nomor saya ada dinomor ratusan. Nggak ada yang ngasih tau saya kalau nama saya nggak ada di daftar janjian dan saya diharuskan untuk mengambil lagi. Si bapak bapak yang tafldi saya temui bahkan bilang antrian saya habis. Dan sekarang sama si embak embak lain, bilangnya antriannya masih ada. Kok sangat mencla mencle ya pelayanannya. Well.. Tererengkyu sudah buang buang waktu untuk sebuah hal bernama: gabut.

Pertanyaan saya: emangnya kepala dan stafnya tidak ada briefing dulu sebelum bekerja? Bukankah itu penting untuk menjaga kekompakan, semangat sekaligus menyelaraskan standar operasi prosedural dalam bekerja. Sungguh ya. Menyebalkan.

Saya paham bahwa first come, first serve. Tapi kenyataannya kadang yang datang belakangan malah dapat antrian duluan daripada saya yang datang belakangan. Tentu saja ini karena human error. Si administrator yang entah begadang hapean semaleman, bangun pagi dalam keadaan letih akhirnya nggak konsentrasi. Geblek.

Oke. Itu tadi dari segi customer (yang gedheg banget akibat

Wang Sinawang

Ive got stressed. Tidak pernah terpikirkan hari dimana saya mikir keras sampai selera makan hampir hilang. Bobot saya sudah turun lebih.

Urip itu wang sinawang. Sing katon apik ra kudu dipamerna, win katon elik ra kudu wong reti. Kadang yang terlihat baik tak harus dipamerkan, yang terlihat jelek tak harus semua orang tahu

Saya cukup menyesal tahu bahwa selama ini saya salah sangka. Tak perna terpikirkan oleh saya bahwa seseorang yang saya pikir baik baik saja senyam senyum setiap waktu, menunjukkan performa terbaik sebagai orang denga background baik baik ternyata hidupnya sungguh pedih. Saya pikir semuanya baik baik saja. Tapi luka di hatinya pedih luar biasa. Saya adalah seorang pendengar. Semuanyaembuat saya sadar hidup itu skenario Tuhan. Sampai fi

Warna

ada kalanya manusia dalam keadaan naik turun. apa yang terlintas kemudian? dukungan. mengertikah bahwa ada kalanya kita tidak bisa seenaknya memihak?. ada kalanya kita harus bersikap netral pada masalah apapun. apalagi melakukan intervensi. kita tidak pernah tahu bagaimana cara seseorang berpikir, memutuskan atau melakukan tindakan. dengan latar belakang apa, kenapa, bagaimana caranya dan dengan perspektif apa dia melakukan semuanya. percayalah setiap orang memang punya kecenderungan untuk memilih. tapi lebih baik jika tidak memihak.

Never Ending Learning

Sejatinya hidup itu terus belajar. Kalau dulu saya bisa berpikiran: datang kerjakan lupakan. ya, seperti halnya anak anak di sekolah. Mlz bikin tugas tapi deg degan kalau ujian akhir, tapi kalau liburan tiba seolah lupa segalanya. Kalau ditanya kemarin materinya apa, jawabnya: kemarin nggak tahu sekarang lupa. Haha. Dasar anak anak.

Kini semua berbeda. Nggak ada lagi datang kerjakan lupakan. Yang ada, datang kerjakan simpan dalam ingatan. Kenapa? karena nyatanya kita masih akan makan nasi sampai akhir hayat. Toh kita bukan Maryam yang sekalinya menengadahkan tangan, Tuhan mengirimkan makanan dari surga hanya untuk dirinya. Nyatanya kita nggak bisa beli beras dengan manisnya lambe: kubeli beras ini dengan cinta, Pak!. Aih, lamis sekali lambe.

Sekarang semua berbeda. Datang, kerjakan, simpan dalam ingatan. Karena apa yang kita kerjakan sudah nggak bisa main main. Sudah nggak bisa salah kayak kita dulu masih sekolah. Sudah nggak bisa “datang kerjakan lupakan”. Semua menyangkut hidup dan mati orang lain juga. Sekali main main, bikin kesalahan, merembet pula pada orang lain. Kalau kita kerja main main, orang orang yang berurusan dengan kerjaan kita akan sulit juga mengerjakan sisanya. Bukankah kita harus memudahkan lainnya? Tapi tentu saja dengan cara yang benar. Bukan kongkalikong dalam keburukan. Itu teorinya.

Saya meyakini bahwa ada lebih dari 72 pintu masuk surga. Jika saya ditolak Tuhan dari satu pintu, maka saya akan rayu Tuhan dari pintu lain. Apakah saya menyerah? tidak. Karena saya meyakini rahmat Tuhan lebih besar dari kita yang kecil ini. Kalau saya menyerah mungkin Tuhan akan marah. Kamu diberi kesempatan untuk berpikir seluas mungkin tapi kamu hanya menyerah sampai disana saja.

Dan.. ya, kemampuan bahasa saya semakin menurun saja :D. Kita sambung lain waktu

Mitoni Ala India

Sebelum ke inti, saya akan bercerita sedikit panjang lebar sebagai prolog ya.

Well, nggak ada yang pernah tahu dengan siapa kita berjodoh. Sahabat saya jaman SMP yang bengalnya setengah mati, Mega, ternyata berjodoh dengan seorang lelaki kalem keturunan India yang lama tinggal di Medan. Si pangeran India ini bahkan ia kenal through the social media. dari fesbuk. Whatttt! Haha. Ngakak parah. Semakin terpingkal pingkal lagi ketika ia menjalani masa taaruf. Ya anggaplah taaruf. Seorang ukhti ukhti katholik macam Mega, taarufan sama akhi akhi India. Ya gimana nggak ngakak. Saya tahu betul kelakuan wanita cantik ini ketika sekolah dulu. Nilai berantakan, gonta ganti pacar, nggak karuan lah. Haha. Terus tiba tiba dia nikah sama Pak Jhon, laki laki muda yang usianya sepuluh tahun di atas Mega. Saya pikir si Mega bakal punya suami dari kalangan angkatan. Secara, dia sering cerita lagi deket sama si A, B, C bla bla bla. Meski, seingat saya, ia pernah hampir menikah meskipun pada akhirnya gagal karena si laki laki tentara ini bikin kesalahan fatal yang tak termaafkan dari keluarga mega.

Then, here we are, saya mendatangi pernikahan Mega Oktaviaji di hari bahagianya. Diawali dari saya dan Santika datang ke gereja untuk melihat pemberkatan pernikahan keduanya. Temen saya yang biasa pecicilan ini bisa gugup juga. Haha. Apalagi di scene, ciuman. Mega sok sokan malu malu kayak anak nggak pernah pacaran. Padahaaaal.. saya kenal bener mega nggak mungkin nggak punya gebetan. Dunianya kosong kalo nggak punya pacar. *dikeplak sama si mega kalo mega tahu saya nulis ini. Wkwkw.

Setelah sah menurut hukum agama dan negara, mereka bikin resepsi kecil kecilan di rumah. Awalnya mau agak besar katanya si Mega. Tapi berhubung masa berkabung, karena bapak dari Pak Jhon meninggal beberapa minggu sebelum mereka menikah, maka resepsi diadakan secara sederhana namun cukup meriah. Saya yang awalnya berekspektasi bakal ada nyanyi nyanyi dan joget ala pilm pilm india, cukup kaget juga. Ternyata beneran ada. Haha. Meskipun nggak seheboh di film film. Nggak lama, paling 10 menit ketika saya melihat sekeluarga ini jogged bareng. Kami pun selesai foto foto dan.. pulang. Saya bahagia untuk sahabat saya yang geblek banget ini, akhirnya ditemukan oleh jodohnya. Udah, kalem meg hidupmu.

Dan.. beberapa bulan kemudian si mega hamidun.

Girang saya mendengar saya akan punya keponakan baru. :D. dan.. semakin girang ketika saya datang ke undangan mitoni yang ternyata bukan sekedar mitoni karena prosesi yang digunakan adalah ala india.

Kita Adalah Peramu Obat untuk Diri Kita

Siapa yang paling tahu kondisi tubuh kita? hanya kita dan Tuhan yang tahu. Entah dalam keadaan mental sebaik apapun atau seburuk apapun hanya kita sendiri dan Tuhan yang tahu. Demi apapun.

Kita tidak bisa memaksa orang lain untuk menerima, menyukai apa yang kita lakukan. Sama halnya kita tidak bisa memaksa orang lain untuk tidak membenci diri kita. Kalau kata Pak Eddy dulu “kita tidak bisa menyenangkan semua orang mbak. Jadi, keep going. Life must go on”.

Pangalengan

Bandung selalu punya cerita yang oke baik secara modernitas maupun alamnya. Rafting kedua saya (yang pertama di Garut, dan udah pernah saya posting) ada di Pangalengan, selatan Bandung dengan alamnya yang terkenal dengan kebun tehnya. Cuaca cerah agak berangin, udara segar, pemandangan alam hijau hijau. Sempurna!.

Situ Cileunca adalah checkpoin dimana kami melakukan rafting. Apakah raftingnya muterin danau? emang ada jeramnya? tentu tidak. Anggaplah Cileunca adalah permulaan. Ibarat sailing, kita berlayar di lautan tenang sebelum kena sensasi badai di lautan lepas. Haha.

 

Pengolahan Limbah

Peninggalan Belanda memang menarik untuk dipelajari sebagai pengingat betapa sebenarnya kita belajar banyak dari negeri yang menjajah separuh bumi itu. Di jaman kakek nenek kita masih pakai lampu obor, mandi di kali, jalan kaki sehari semalam menuju kampung moyangnya, Belanda sudah memikirkan banyak hal modern. Saya beruntung untuk bisa melihat secara langsung hasil karya Belanda di daerah Jalan Pelindung Hewan. Namanya lucu ya. Haha. Tapi beneran nama jalan itu ada. Letaknya di sebelah Museum Sri Baduga. Ikuti gangnya dan sampailah ke Jalan Pelindung Hewan. Konon katanya Pelindung Hewan memang nama yang disematkan untuk menunjukkan bahwa orang orang Bandung memang menyayangi hewan. Dulu, dibentuk komite yang mengawasi kesehatan dan perlakuan majikan terhadap ternak ternak mereka. Komite ini dibentuk karena adanya laporan bahwa ternak ternak tidak mendapatkan hak hak hidupnya.

Nah lho, ada juga yang mikirin bahwa hewan aja butuh hak hak hidup. Well.. tadi mau bahas limbah, kenapa sampai melenceng ke topik kehewanan? tentu saja ada sambungannya. Jalan Pelindung Hewan adalah jalan utama menuju proyek kuno Belanda untuk menuju swasembada energi melalui biogas. Keren ya idenya. Jaman segitu sudah memikirkan bahwa zat zat yang dikeluarkan mahluk hidup punya andil besar dalam pemenuhan energi sehari hari jika dimanfaatkan secara baik dan benar. Kotoran kotoran hewan dan manusia dikumpulkan jadi satu di sebuah ceruk berukuran kotak sedalam 11 meter dengan sebuah tabung khusus untuk penampung gas metan yang akhirnya diolah menjadi energi terbarukan. So kewwwlll. Si ceruk kotak ini bernama Inhoftank. Diambil dari nama si penemu, Bapak Inhof atau siapa ya saya lupa. Makanya, jalan sekitar daerah itu dinamakan Inhoftank.

Lokasi ceruk ini agak masuk masuk ke pemukiman penduduk. Sebenarnya letaknya di pinggir sungai. Tapi seiring gesekan kepentingan kebutuhan perumahan warga, ceruk ini tertutupi oleh rumah rumah penduduk. Tanahnya sendiri sih katanya tanah Pemda. Tapi ya itu tadi sudah padat pemukiman penduduk. Rumah rumah bedeng lembab dengan gang gang sempit di dalamnya menjadi tempat berteduh para warga yang menempati bertahun tahun di daerah itu. Sebagian dari mereka pun tahu bahwa ceruk itu adalah peninggalan jaman Belanda. Pinggirnya dimanfaatkan sebagai tempat nongkrong dan menjemur ikan atau pakaian. Bahkan menara yang dulunya dijadikan laboratorium sudah dimanfaatkan jadi gudang oleh warga sekitar. Kalau minggu jadi checkpoin untuk senam bersama ibu ibu PKK setempat 😀

Kondisi ceruk ini sangat tidak terawat. Eceng gondok tumbuh di sela sela buangan sampah warga. Menara tuanya juga masih kokoh namun sudah beralih fungsi. Masih ada pigura berisi denah rencana biogas dan alat besi yang teronggok. Tapi memang sudah tidak dilanjutkan fungsinya kembali. Mungkin Pemerintah juga belum ada anggaran untuk memanfaatkan biogas. Mungkin.

Baduy: Black and Blue

Indonesia is a never ending heaven. A piece of heaven falling on earth.

Ini pertama kalinya saya ke Baduy. Tracknya yang naik turun itu tidak bikin saya melongo. Daripada tracknya, saya lebih kaget sama daya tahan orang orang Baduy yang jalan naik turun tanpa alas kaki. Plis, saya yang ‘cuma’ pakai sandal gunung yang solnya memang didesain awet di medan gunung ini aja sempat agak lecet apalagi mereka yang telanjang kaki. Kami peserta biasa, butuh waktu dari jam 13.00 hingga 17.00 untuk mencapai desa yang akan kami inapi. Mereka? dua jam aja katanya. Whaaaattttttt. Bhhhaaayyy.

Perjalanan saya dimulai dari ikut open trip seharga dua ratus lima puluh ribu rupiah di sebuah media sosial. Berawal dari Stasiun Tanah Abang sebagai checkpoint, kami memulai perjalanan. Kalau tidak salah waktu itu sih ber-tiga puluh apa ya. Jamaah. Haha. Dari stasiun Tenabang, kami menempuh kurang lebih hampir dua jam menuju Stasiun Rangkasbitung dengan pemandangan berganti dari riuhnya hidup di ibukota menuju hijaunya pemandangan pinggiran Jakarta. Jalan sedikit menuju terminal Rangkas, kami masih harus menempuh waktu kurang lebih satu jam menggunakan angkutan umum yang khusus disewa menuju Pertigaan Ciboleger. Pemandangannya cukup menawan karena nggak nemu gedung tinggi. Yang ada cuma perkampungan dengan rumah warga yang sederhana dan pohon pohon. Haha. *bukankah pemandangan seperti ini sangat mewah?.

Well, untuk urusan logistik, jangan khawatir. Di pertigaan Ciboleger yang terkenal dengan patung pak taninya itu, sudah ada warung warung kecil bahkan Indomaret yang ekspansi kesini. Whatde.. yah.. begitulah. Sungguh luarbiasa ekspansi retail jaman sekarang. Jadi, logistik aman. Bagi yang belum beli air dan cemilan, silakan beli disini Ciboleger karena perjalanan menuju Baduy Dalam ternyata masih setengah hari. Haha. Dan, itung itung membantu penduduk setempat menyambung hidup. We know lah, wisatawan adalah sumber kepulan asap di dapur mereka. Jadi, membeli barang barang di warung mereka sama dengan menolong hidup mereka.

Oh ya, Ciboleger adalah Desa terakhir sebelum memulai perjalanan ke khayangan Baduy. Dimana desa Baduy yang dimaksud adalah Baduy Dalam yang jaraknya setara mendaki gunung pendek. Di dekat bundaran Ciboleger, ada tangga naik menuju Desa Baduy Luar. Inilah perkampungan Baduy yang warganya memakai baju biru tua dan hitam. Orang orang Baduy Luar asalnya dari Baduy Dalam. Dan Desa terakhir di ujung hutan adalah Desa Baduy Dalam. Tempat dimana para warganya masih hidup menjunjung nilai asli leluhurnya. Baju mereka pun baju putih dan hitam.

Dan, perjalanan pun dimulai pukul 13.00 ini melewati perkampungan Baduy Luar. Warga Baduy Luar relatif lebih modern. Mereka menggantungkan diri dari perdagangan. Apa yang didagangkan? tentu saja souvenir buatan tangan baik tenun, gelang maupun perkakas tradisional. Letak kiosnya pun tertata dengan ciamik. Tentu saja penggaruh interaksi dengan warga luar Baduy (orang orang perkampungan non Baduy) menjadi sebab mengapa mereka bisa menata dan menjual produknya bak penjual di tempat wisata. Dan bisa jadi pengaruh Pemerintah Setempat yang mengarahkan. Bahkan, mereka jualan sambil main hape. Emezink! haha. Ponsel Samsung nampaknya populer diantara para gadis gadis Baduy Luar yang ditugaskan untuk menjaga kiosnya sembari orang tuanya menanak nasi. Jadi, modernitas memang tidak bisa dihindarkan lagi. Generasi tua Baduy Luar mungkin masih bisa memakai batasan batasan yang dibawa oleh leluhurnya. Tapi anak anaknya, meskipun tidak mengalami masa sekolah formal layaknya anak anak kampung di bawah mereka, mereka pun beli ponsel juga. Haha.

Yang menarik untuk saya selama lima menit perjalanan saya di awal adalah keberadaan sebuah sekolah persis di lereng tangga. Saya pikir tadinya anak anak anak Baduy Luar mulai berpartisipasi belajar secara formal bersama anak anak non Baduy. Atau bahkan sebenarnya sekolah itu dibandung khusus untuk anak anak Baduy. Kan ada program Pemerintah yang Wajib Belajar Sembilan Tahun. Tadinya saya pikir ada perubahan sosial dimana anak anak Baduy sudah mulai dikenalkan pada sekolah umum. Ternyata tidak. Mereka hingga kini tidak bersekolah  karena sebagian besar masih menganut paham tidak boleh mengenal baca tulis formal. Ini menurut penuturan beberapa anak Baduy yang saya temui, salah satu pengunjung warung dan guide saya dulu. Yang bersekolah di SD di lereng tangga adalah anak kampung non Baduy. Yah.. kirain mereka betulah sekolah ya. Tapi kalau dipikir, gimana mereka bisa kirim whatsapp atau install aplikasi di Playstore ya kalau mereka nggak bisa calistung formal. Haha. Abaikan pemikiran bodoh saya.

Believe me, para gadis Baduy Luar adalah salah satu ikon kecantikan gadis sunda. Cuantik!. Gadis gadis ini sudah cukup cuek dengan kamera. Kebaya biru, kain bawahan dan rambut tergelung ke belakang, mereka duduk anggun menenun di sela siang, Sapalah dan percayalah senyum berhias gincu merahnya akan membuat siapapun meleleh.

Again, soal skill pertenunan. Bedanya tenun Baduy dengan tenun yang pernah saya pelajari sebentar di Jogja adalah soal alat dan teknik. Konsepnya sih masih sama, memasukkan benang dengan menggunakan alat sehingga ribuan helai benang bisa menjadi sehelai kain yang dibuat secara manual. Kalau alatnya? jelas beda. Kalau tenun Jogja dan Jawa Tengah rata rata menggunakan alat yang bisa dibilang besar secara ukuran dan agak rumit. Meskipun baik tenun Baduy maupun Jogja-Jateng pakai bahan alam yakni kayu dan bambu. Tapi saya senengnya kalau pakai ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin), saya bisa sambil duduk dan kaki tangan main secara simultan. Tapi kalau alat tenun Baduy, dibuat lebih simpel. Alatnya lebih kecil dan cukup menggunakan tangan. Bahkan bisa dibilang menyesuaikan. Kalau yang makai orang dewasa bisa pakai bambu yang lebar. Kalau anak anak, bisa lebih kecil. Kayaknya emang bisa dimodifikasi karena relatif lebih sederhana. Beda dari ATBM Jogja atau Jateng yang harus bongkar sana sini. Lebih ribet.

Dari skill tenun menenun yang dikhususkan hanya dilakukan oleh para wanita inilah, akhirnya semua orang Baduy bisa berpakaian. Baik Baduy Luar maupun Baduy Dalam punya skill yang sama: menenun. Sudah menjadi tugas ibu dan anak perempuan untuk membuat kain, menjahit dan memberikannya pada anggota keluarga. Sedangkan tugas laki laki mencari madu, bekerja dan turun ke kota. Saya sempat tanya ke salah satu warga Baduy Dalam. Apakah boleh perempuan turun ke kota seperti laki laki? mereka bilang boleh selama kuat. Tapi rata rata memang jarang bahkan hampir tidak pernah karena tugas perempuan yang harus mengurus rumah. Disinilah peran gender dibedakan. Perempuan untuk peran feminin dan laki laki untuk peran maskulin.

Kapan

Pertanyaan 5W1H alias apa kapan dimana siapa mengapa bagaimana adalah satu paket list yang dibenci orang. Apakah ini trend atau emang orang sebenarnya hal yang lumrah? Throwback beberapa tahun lalu, saya jadi teringat jika semua orang di sekitar saya merasa kesal dengan pertanyaan ini. Galau ditanyain kapan lulus TK, kapan kucingnya warnanya jadi belang, kapan buah mangga depan rumah pak gubernur berbuah, kapan kalio saya mateng kapan kapan kapan kapan ini kapan itu. Semua orang galau. Seolah jadi trend of the year yang jadi titik dimana orang jadi berani bersuara bahwa mereka sebenarnya memendam ketidaksukaan yang sama.

Kalau semua orang galau dengan pertanyaan kapan, bukan berarti saya nggak ikutan galau juga. Nggak. Situasional mah kalau itu. Sekali dua kali, merasa terganggu nggak masalah. Tapi nggak harus terus terusan. Saya belajar untuk meringankan hati dari seorang guru saya, Pak Edi.

Sedikit cerita tentang beliau ya. *ya ampun betapa kangennya saya. Alfatihah Pak, semoga bapak diberi panjang umur dan diberkahi hidupnya. Amin. Setiap kali saya merasa bermasalah dengan hidup saya, saya datang pada beliau setidaknya sekali dalam semester ketika saya masih sekolah. Tempat untuk sambat (berkeluh kesah) dan mencari penghiburan dan solusi. Saya jauh dari orang tua karena berbeda kota dan kepada beliaulah saya merasa harus bercerita meski memang yang saya ceritakan bukan curhat atau hal hal pribadi (malu dong mau cerita remeh temeh kayak siapa nama kucing piaraan saya atau saya belanja ciki apa aja kemarin di supermarket. Haha. Beliau kan bukan teman saya. Maka cara ceritanya juga bukan seperti kita bercerita ke teman sekosan). Saya selalu bertanya bagaimana cara melewati masa masa saya yang labil. Bagaimana saya seharusnya bertindak sesuai nalar karena resiko anak rantau untuk melenceng dari hidup sangat besar. Dan saya berterimakasih atas lima tahun saya yang luar biasa di kota Newyorkarta.

Pak Edi bukanlah sosok yang akan mengasihi dengan bicara lemah lembut. Tidak. Beliau akan menyudutkan saya, menanya nanyai saya hingga saya tidak bisa berpikir lagi. Menggiring saya menggunakan logika dan perasaan dengan seimbang. Sama seperti orang tua saya, beliau mengajarkan untuk berpikir ulang dan ulang. Memikirkan dan menimbang segala resiko yang bisa terjadi jika saya mengambil sebuah keputusan. Hingga saya bisa membisikkan ke diri saya “iya ya, kok saya nggak mikir sampai segitunya ya”, “kok saya begonya kebangetan ya”,”oh ternyata harusnya gitu ya alur berpikirnya”.

Beliau yang menyemangati saya melewati masa masa sulit, dengan hardikan hardikannya. Beliau tidak pernah membentak saya. Tidak pernah. Tapi cara bicara beliau yang to the poin dan menyudutkan memang tidak disukai teman teman saya. Terlalu kaku dan saklek. Begitu teman teman saya bilang. Padahal nggak juga. Beliau fleksibel kok, bahkan menurut saya, beliau visioner. Kalau saya dan teman teman saya melihat hanya untuk masa sekarang, Pak Edi berpikir jauh untuk jangka panjang. Ya wajar saja, saya dan teman teman saya kan belum pernah tua tapi beliau sudah pernah muda. Lebih banyak pengalaman dan jatuh bangun makanya lebih bisa mengambil keputusan. Sejak awal, karena beliau adalah pembimbing akademik saya, saya mengambil sikap yang berbeda. Saya tidak harus memusuhi beliau seperti hal nya teman teman saya yang banyak membicarakan beliau yang jelek jelek di belakang. Bukan berarti saya selalu baik, tidak. Tapi saya sudah sejak awal merasa harus menempatkan diri sebagai anak karena memang saya adalah anak didik beliau selama lima tahun. Saya takdzim pada beliau.

Yang membuat saya selalu bahagia adalah beliau selalu meluangkan waktu untuk saya. Satu dua jam memang. Tidak banyak. Tapi waktu yang selalu ada dan beliau yang rela meluangkan waktu di sela kesibukannya hanya untuk mendengarkan remeh temeh saya itulah yang membuat saya merasa dihargai. Saya merasa diterima. Saya merasa meskipun saya bukan anak kandung beliau, hanya anak bimbingan yang tiap semesternya tanda tangan di buku rapor saya, beliau hanya guru saya, tapi saya merasa lebih dari cukup. Ada perasaan hangat bahwa saya merasa terlindungi. He is also my father. Saya tahu kabarnya, beliau tahu kondisi saya.

Oke fine sudahi kenangan saya tentang beliau, nanti kita bahas lain waktu di postingan lain. Balik ke topik. Satu hal yang saya ingat betul adalah ketika saya merasa kecil hati merasa kebingungan mau dibawa kemana hidup saya. Saya ngeri membayangkan tanggung jawab saya seusai lulus yang entah bagaimana bentuknya karena merasa sebagai seorang anak yang dapat kesempatan luar biasa bisa bersekolah hingga tuntas, saya harus membayar hutang kewajiban saya sebagai bakti kepada agama, negara dan orang tua. Dan.. yeah.. lagi ngetrend orang galaw ditanya “kapan”. Kapan lulus kapan ujian kapan wisuda kapan kerja kapan nikah kapan punya anak kapan ini kapan itu kapan eta kapan ieu. Serba kapan. Korban mode kapan ini pun juga banyak. Banyak kakak angkatan saya yang mangkir dari sekolah, nggak melanjutkan tanggung jawab terakhirnya: bikin tugas akhir, kemudian muncul tiba tiba di akhir batas sebelum drop out. Mereka pergi dari lingkungan karena malas ditanyai kapan.  Dan saya pun bercerita juga pada ayah bimbingan saya ini. Pertama karena saya merasa beliau harus mengetahui kondisi saya, kedua saya butuh tempat bercerita, ketiga saya mau mendengar nasihat beliau. Saya butuh berpikir.

Apa jawabnya? Saya dimarahi. Haha. Ya begitulah cara beliau berkomunikasi. Saya tidak ditunjukkan cara cara manis atau cara cara halus bak peri baik hati yang memberi tahu, melindungi si Lala dalam sinetron Ibu Peri yang tayang ketika saya masih kecil (padahal saya hampir nggak pernah nonton juga karena dilarang nonton begituan waktu kecil). Oleh beliau, saya dimarahi layaknya orang tua ke anak (untungnya saya nggak pernah merasa sakit hati). Nasehat yang selalu bisa saya renungkan, saya resapi dan saya aplikasikan pada hidup saya. Dalam hati sih “duh salah nih saya cerita.. wasemik..kena omel lagi”. Tapi kemudian ketika saya pulang, senyum mengembang dari hati saya. Saya merasa recharged. Saya merenungkan perkataan beliau. Saya merasa tercerahkan, terlindungi, hidup kembali. Saya sudah tidak lagi menggambar bunga matahari atau bikin benang kusut di coret coretan saya. Saya menggambar emoji bahagia sebagai ungkapan hati yang riang gembira. Ibarat tadi langit mendung, kini langit saya sudah ada matahari betulan yang mulai bersinar. Pulangnya saya jadi bisa melihat gambaran strategi apa yang harus saya gunakan untuk menghadapi hidup saya ke depannya.

Intinya dari panjang lebarnya beliau memarahi saya, beliau bilang “kenapa kamu harus kebingungan dengan pertanyaan seperti itu. Kok harus dipikirkan. Kayak kamu nggak punya kerjaan lain aja. Kalau ditanya ya dijawab saja, nggak perlu bingung. Tidak ada pertanyaan yang tidak punya jawaban. Kamu selalu bisa menjawab pertanyaan pertanyaan itu. Kalau dijawab when ya sebutkan waktunya. What ya jawab apa adanya. Where ya katakan tempatnya. 5W1H kan. Gitu saja kok repot”. Dan saya tertawa kecil. Iya juga ya. Kenapa harus bingung dengan perkataan orang. Kenapa harus repot dengan apa yang orang tanya. Kalau orang tanya ya dijawab. Betul juga. Logika ya dijawab dengan logika. Nggak usah dimasukan dalam hati. Toh dunia nggak akan runtuh kalau kita jawabannya salah.

Sejak saat itu, saya selalu riang gembira menjawabi pertanyaan orang. Kapan lulus? Besok. Kapan ujian? Minggu depan. Kapan nikah? Jumat nanti. Sesimpel itu. Saya pun tidak harus melabeli orang dengan ungkapan “kamu menyebalkan” dengan lirikan kesal karena kamu dianggap kepo. Menurut saya, ya selama kita masih memegang ktp Indonesia, ya siap siaplah dengan hal hal seperti itu. Terkadang bukan karena mereka kepo. Tapi sekedar basa basi. Contohnya ketika kita lewat depan rumah tetangga. Cara menyapa orang Indonesia bukan “hello” “how are you” “hows lyf”. Tidak pernah ada. Penerjemahan kata hello hows lyf howdy, justru tidak bisa ditafsirkan apa adanya menjadi “halo, apa kabarmu”. Nggak ada orang menyapa kita “halo, selamat pagi, apa kabarmu?” kecuali di acara formal sebagai basa basi pembuka pidato atau seperti halnya basa enggres di negeri bersalju sana. Tapi justru menjadi multi fungsi “hai, mau kemana”. *saya ingat banget sama nasihat penerjemahan ini yang dulu dituturkan Pak Edi ketika saya masih junior student.

Mengapa sih orang harus tanya kenapa? Ngapain sih orang tanya tanya? Ngapain sih kok pengen tahu. Itu yang lazim. Bukan karena tetangga tetangga kita mau kepo (walaupun yah memang ada sebagian orang yang kepo hehe). Tapi sudah jadi adat kebiasaan menyapa pada orang kita. Orang Indonesia bertanya “mau kemana” sembari menyapu halaman, sembari mencuci baju, sembari belanja ikan teri. Orang bertanya sebagai tanda keramahan karena wes takon (sudah bertanya), wes ngaruhke (sudah menyapa).

Orang bertanya karena mereka butuh komunikasi. Emang bisa ya kita ngobrol sama orang tanpa 5W1H? Tanpa ada pertanyaan apa kapan dimana siapa mengapa bagaimana, pie carane kita bisa komunikasi? Pakai bahasa isyarat? Itupun pasti bahasa isyarat juga mengandung 5W1H. Jika ada pertanyaan berarti ada sesuatu untuk dibahas, dijawab atau diulas. Dan memang tipikal orang kita yang modelnya seperti itu. Kita bukan bangsa barat yang cuek bebek sama urusan orang lain yang “Your business is yours, never be mine”. Ya kalau memang tidak mau dibahas jangan kebanyakan nongkrong sama orang orang. Nggak perlu bermasyarakat. Itu sadisnya. Nah, inilah perlunya memilih teman yang baik. Minimal luweslah dalam berteman. Sing santai. Karena sejatinya pertemanan itu kayak mirroring. Kalau kita senyum ya kita disenyumin balik, kalau cemberut ya dicemberutin juga. Termasuk kapan. Kalau kita pernah tanya tanya ya pasti kita akan ditanya tanyai. Maka lila legawalah biar hati bisa menerima dengan ikhlas.

Ada teman saya posting yang intinya jangan mengomentari hidup orang lain, nggak usah banyak tanya kapan karena akan menyakitkan. Saya bengong juga baca postingannya. Saya jadi ingin membalikkan pertanyaan. Lha terus kenapa kamu harus posting kayak gitu? Kalau memang nggak ingin ditanyakan kenapa atau kapan ya jangan main medsos. Hehe. Dia sendiri anak milenial yang punya medsos ini itu. dia posting ini itu. Dia berteman dengan ini itu. Konsekuensi punya medsos adalah kita harus siap terbawa pada postingan ini itu dengan konten ini itu. Harus siap menerima perang syaraf secara halus lewat postingan. Harus siap makan ati liat konten menyebalkan yang seliweran. Harus siap ngepoin orang karena kita sendiri pada dasarnya adalah mahluk yang rasa ingin tahunya tinggi. Konsekuensi sebagai anak milenial yang suka pamer poto di medsos sebagai aktualisasi diri adalah pertanyaan dari orang orang. Jadi yang salah siapa? Yang posting apa yang komentar? Haha. Yang bikin berita atau netijen budiman? Haha. Dua duanya punya porsi salah dan porsi benar. Nggak akan ada asap kalau nggak ada api. Kalau medsos diciptakan putih bersih kayak kertas, ya nggak perlu ada interaksi. Justru medsos itu berwarna warni karena banyak pemikiran pemikiran di dalamnya yang dituangkan dalam caption poto atau cerita. Resiko? Tiga. Dikomentari, dipuji dan dihujat. Sudah suratan takdir itu mah. Kalau memang nggak mau ada komentar? Tinggal dilock aja komennya atau delete aja sekalian akunnya. Selesai urusan. Kalau kata Pak Edi gitu aja kok repot.

Sebagai kontradiksi dari postingan teman saya itu, saya jadi teringat dengan sebuah poster di instagram. Di postingan itu ingin mengingatkan bahwa jangan kebanyakan nanya dan dijawab dengan “alah gitu aja kok bingung bla bla bla”. Sedikit lucu juga ya isi postingannya. Dan.. suka tidak suka, memang harus kita akui bahwa kita termasuk ke dalam bangsa kepoh. Seringkali kita ingin tahu urusan orang lain. Kalau kita terganggu dengan pertanyaan ini itu orang lain, ada baiknya berkaca pada diri sendiri. Bukankah kita juga pernah melontarkan ini itu ke orang lain?. Ya suka nggak suka itu resikonya bermuamalah. Resiko hidup dengan orang lain. Resiko hidup di Indonesia. Kalau nggak suka? Apa mau disuruh pindah ke bulan atau ke antartika? Haha. Ya enggaklah. Nggak perlu harus ganti kewarganegaraan hanya karena tetangga tetangga kita anggap ngeselin. Nanti nggak ngerasain enaknya makan nasi magelangan ala burjo kalau kita pindah ke Argentina. Tiap hari makan roti, buat mahluk yang nggak makan nasi nggak kenyang ini, emang enak? :p

Setidaknya pertama, habiskan sakit hatinya. Kita layak punya me time untuk menenangkan diri, menikmati luka yang perlahan mengering dan kemudian membuka lembaran baru. Kedua, kalau memang terganggu, ingatkan lawan bicara kita bahwa kita tidak suka ditanya tanyai dengan hal hal yang membuat kita terganggu. Jangan sampai silaturahmi rusak gara gara lisan atau perbuatan yang tidak berkenan. Ketiga introspeksi diri dan belajarlah toleran, keempat kalau memang terganggu ya jauhi orang orang yang membuat kita letih. Kelima, kalau nggak sanggup punya medsos, udah tutup aja daripada makan ati. Simpel. Keenam, selolah dalam berteman dan jadilah teman yang baik. Di antara semua itu sebenarnya bermuara pada satu: adab (adab menghormati orang, adab berteman, adab bermasyarakat. Itulah kenapa knowledge before manner. Sepintar apapun kalau adabnya buruk ya IQ langsung terjun bebas). Pada akhirnya kita sendirilah yang akan menentukan bagaimana cara kita menanggulangi dan mereduksi tekanan. Kita adalah obat bagi diri kita sendiri. Sedih bahagia tertekan bebas adalah kita yang menentukan.

Dan.. saya sudah lama cuek bebek dengan pertanyaan pertanyaan yang menyudutkan. Jika ada pertanyaan apapun, saya akan usahakan untuk menjawab. Menjawab, boleh kan? Jawabannya nggak harus exact, right? Hehe. Yang penting tidak menyakiti orang dengan lisan kita. Selawlah menghadapi hidup. Kalau semua dipikir pakai perasaan 100% atau logika 100%, yang ada RS Jiwa Ghrasia yang ada di Pakem, Sleman itu akan penuh sampai sampai petugasnya harus bikin tenda buat menampung orang orang lalijiwo. Haha. Logika sama perasaan harus imbang. Pintar pintarlah menaik turunkan perasaan tanpa harus bikin diri sendiri makan ati. Pandai pandailah pakai logika biar perasaan nggak merana. The last, banyak banyak piknik untuk menyehatkan jiwa. Hehe.

Kalio

Keluarga saya sangat menyukai rendang. Tapi bukan rendang betulan, melainkan kalio. Kalio adalah setengah rendang, alias separuh jalan menuju racikan rendang betulan. Kami masih bisa merasakan kuah berlinang linang di atas nasi kami dengan daging yang sudah agak lunak. Kalau dibilang, kami hampir tidak pernah makan gulai karena terlalu kuning. Kami suka bikin yang warnanya orange atau kuning pekat. Kalau sekarang, saya malas disuruh menumnbuk bahan bahan pada ulekan batu. Pegel dan cukup memakan waktu. Sekarang, cukup potong potong bahan, masukkan blender, dalam hitungan menit semua halus dengan sempurna.

Bahan bahan:

Ketumbar

Merica

Bawang merah

Bawang putih

Cabai merah

Cabai domba

Jahe

Kunyit

Garam

Sereh

Minyak goreng secukupnya

Santan kental satu panci

Daging apapun yang penting halal

Kesemua bahan ditumbuk hingga halus. Masukkan bahan bahan tersebut ke dalam minyak panas. Tumis hingga harum. Masukkan sereh yang sudah digeprek. Aduk sebentar. Masukkan daging ke dalam wajan, aduk hingga merata. Tunggu sebentar, baru masukkan santan. Biarkan hingga berjam jam ke depan. Berapa jam? Minimal 4 jam!. Haha. Kalau laper ya makan yang lain dulu. Hehe. Kalau bisa sih masaknya di atas bara kayu. Ini yang sangat menguji kesabaran. Panasnya harus stabil, maka kita harus sering ngecek ngecek kayu bakarnya. Belum lagi asap dan api yang nggak nyala nyala sampe kita kehabisan napas niup niup. Tapi kalau udah jadi.. waaa.. nggak eneg. Kalio bisa buat lauk makan sampe 3-4 hari ke depan. Tergantung yang kita masak juga. Harus sering dipanasin biar nggak basi. Namanya juga santan santanan. Rawan banget basinnya.

Temen makan si kalio ini adalah kerupuk udang dan sambel asam manis. Ayah saya sering bikin.

Cabai merah

Ebi

Gula jawa

Gula pasir

Asam jawa

Caranya? Cabai ditumbuk sampai halus. Ebi boleh dihaluskan juga, boleh dibiarkan utuhan (kalau utuhan, jangan lupa digoreng dulu ya). Bawang merah di iris dan bawang putih ditumbuk bersamaan dengan cabai merah. Kemudian dimasak bersama dengan minyak panas. Masukkan semua bahan. Gula pasir sedikit aja masukkan sebagai pengganti micin. *kami nggak pernah masak pakai micin. Kemudian gula jawa sedikit aja masukkan sebagai penguat rasa biarkan sampai matang.

Kerupuk udangnya? Beli di pasar atau goreng sendiri.

Kalau sudah siap, makan pakai nasi panas panas atau ketupat atau bisa juga lontong.

Tragedi Kemanusiaan Bernama Cuci Otak

Beberapa orang di sekitar saya adalah Surabayanese. Saya ikut bersedih ketika mendengar, membaca dan menonton video berita tentang Gereja yang dibom di Surabaya dimana ternyata beberapa teman saya tinggal masih di area gereja tersebut. Sedih adalah ketika tahu bahwa orang jahat yang menghancurkan gereja dengan meledakkan diri itu adalah keluarga muslim. Muslim dan.. keluarga. Sudah sehebat apa mereka meyakini bahwa surga ditempuh dengan instan. Sudah sehebat apa mereka meyakini bahwa surga bisa dibeli dengan mati muda, mati dengan sia sia, nyusahin orang pula.

Saya tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan keluarga besar si pembunuh. Jika orang tuanya masih hidup, bukankah orang tuanya akan jadi omongan tetangga. Adik kakak paman bibi dan keluarga besarnya? bagaimana rasanya. Bagaimana perihnya mereka. Tidakkah si pembunuh (suami isteri) memikirkan bagaimana anak anaknya (yang juga diajak mati) bisa punya masa depan di surga. Dimana, seorang anak perempuan yang kayaknya masih usia SD selamat dari meledakkan diri. Saya miris. Mau jadi apa anak itu jika tidak ada yang menyelamatkan psikisnya. Untungnya media tidak mengekspos si anak ini. Meski ya pastinya di kotanya, ia akan jadi bahan bisik bisik tetangga ke tetangga. Plis, meski jaman udah modern, gosip tetaplah santapan kaum manusia setiap harinya. Apalagi didukung kemajuan media sosial. Jejak digital bahwa pernah ada pengeboman di kotanya dimana sekeluarga menjadi tersangka tapi mati sia sia seketika dan meninggalkan anak kecil yang selamat. Hingga ia besar, pasti akan tetap ada berita yang jadi jejak. Jika boleh berharap semoga tidak ada luka psikis di pikiran anak itu. Betapa beratnya menjadi anak ini karena ia akan hidup di dunianya sendirian karena keluarga intinya telah tiada. Dimana kurang ajarnya orang tuanya tega menggadaikan masa depannya demi surga yang katanya mereka rindukan.

Semoga keluarga besarnya tidak membenci atas perbuatan yang ia belum dan tidak akan pernah mengerti mengapa ia diajak untuk membunuh orang lain yang bisa jadi tidak pernah berbuat jahat pada keluarganya -yang mana hanya karena keyakinan yang berbeda, mereka anggap tidak akan pernah masuk surga-. Padahal bukankah gambaran surga adalah sesuatu yang abstrak untuk manusia fana seperti kita karena hanya nabi nabi terdahulu saja yang pernah lihat secara langsung. Bukankah belum tentu kita akan masuk surga. Memang siapa kita? nabi?.

Dimana keberuntungan mereka masuk surga? surga buat mereka bentuknya apa? Kalau surga dalam bayangan saya simpel saja. Cukup kayak desa saya. Dikelilingi keluarga saya, dengan rumah kecil, banyak pohon, ada sungai, tidak perlu istana megah yang pualamnya sebening air, sirapnya sewarna langit dindingnya bertatahkan permata. Rumah kecil yang nyaman. Jika ada gambaran surga, itulah yang akan saya minta pada Tuhan. Tidak perlu menye menye. Bodo amat dengan sungai susu atau wine atau kopi. Bodo amat istana permata. Bodo amat pembantu bidadari. Bodo amat dapat 72 entah bidadari atau bidadara. Bodo amat dengan semuanya. Nggak butuh muluk muluk. Karena pertanyaan terbesar saya adalah: apakah saya akan dikumpulkan kembali dengan keluarga besar saya di surga atau justru saya akan terpisah sendirian karena menjalani hukuman di neraka. Sebuah pertanyaan yang tak akan pernah habisnya untuk berkontemplasi.

Musium

Masuk museum mungkin bagi sebagian orang adalah hal menjemukan. Saya? Kadang iya. Haha. Harus jujur saya akui bahwa kadang museum itu menjemukan. Tapi disanalah cerminan kita. Cerminan masa yang lampau yang harusnya jadi pelajaran untuk masa mendatang. Karena itu saya masih datang untuk menyempatkan ke museum untuk: belajar. Belajar tidak harus di kelas kan? Maka saya pun belajar pada setiap perjalanan saya kemana kaki melangkah.

Buat saya, sejarah raja raja Nusantara adalah cerita yang tidak pernah membosankan. Cerita yang nyata adanya tapi jadi setengah tidak nyata karena dibumbui ya nggak sih masa gitu beneran nggak tuh dan aneka pertanyaan pertanyaan yang meragukan bahwa cerita cerita silat, legenda, putri putri dari khayangan itu itu benar adanya. Maka, pergilah ke museum agar kita tahu ada nggak bukti peninggalannya.

Salah satu kota yang termashur dengan peninggalan kekeratonanya yang sampai sekarang masih eksis adalah Keraton Solo. Turunlah dari stasiun solo balapan, pesan ojek, atau pakai taksi mintalah Pak pengemudi menhantarkan ke area keraton. Maka kita akan menemukan kita terjebak menyusuri bentek benteng keraton yang berbedak putih tebal meliuk liuk hingga ujungnya mengantarkan kita pada sebuah bangunan berwarna biru muda berornamen naturalis dengan sebuah menara bersembunyi di belakangnya. Menawan.

Untuk bisa masuk ke area itu, kita dianjurkan untuk memutar ke kiri (setelah Pusdikhub) kita akan menemukan sebuah loket yang dijaga dua orang wanita. Tiketnya murah, hanya sepuluh ribu rupiah. Diskon hanya berlaku ketika kita masuk secara rombongan.

Karena Tholabul Ilmi Tidaklah Mudah

Selamat Hari Pendidikan Nasional.

Saya baper ketika dikirimi sebuah skrinshut isinya Panca Prasetya, sebuah janji alumni. Saya teringat momen beberapa tahun lalu ketika air mata diam diam menggenang di pelupuk ketika menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia dan sekolah saya serta Panca Prasetya yang berisi janji alumni untuk selalu berbuat kebaikan dan mengamalkan ilmu pengetahuan.

Saya sudah selesai sekolah (ya, secara formal). Tapi tidak selesai untuk selalu belajar dari kehidupan. Betapa luasnya ilmu dan betapa sedikitnya yang sudah dipelajari. Bahwa kita adalah orang orang beruntung yang bisa mengecap ilmu pengetahuan barang sedikit.

Saya teringat dengan anak anak di kampung nan pelosok yang harus berjuang mati matian dengan kendala transportasi, ketersediaan guru dan fasilitas di sekolah. Saya sendiri pernah merasakan tinggal di sebuah desa terisolir, jauh dari mana mana, adanya hutan dan sungai yang kalau hujan bikin anak di seberang nggak mau berangkat sekolah karena dilarang orang tuanya akibat air sungai yang meninggi. Belum lagi desa nenek saya nun jauh juga di pucuk gunung. Jalan cuma satu dan itupun rawan longsor. Boro boro mikir negara, bisa baca tulis aja syukur. Kalau gede, cukup jadi petani cabi (cabai). Sungguh mulia sekali.

Dan, kemudian saya teringat dengan anak anak yang tinggal di bedengan sepanjang rel, sepanjang pemukiman kumuh atau di tempat yang jauh dari kata layak. Yang bahkan boro boro mikir sekolah. Bisa makan sekali sehari aja syukurnya alhamdulilah.

Saya teringat pernah sepupu saya tidak bisa sekolah karena ayahnya pengangguran. Keluarganya pincang. Tidak peduli dengan kelanjutan masa depan anaknya. Menelantarkan piyik piyik kecil yang di masa depan harusnya bisa jadi bright star untuk keluarga. Sungguh tidak beruntung.

Kemudian saya teringat dengan antrian panjang para pencari kerja yang berbaju putih celana hitam mengantri dengan map di tangan, menanti kejelasan nasib yang tak tentu arah. Bersaing dengan jutaan milenial yang berebut suapan nasi dari tangan.

Masihkah mau bermain main dan tidak mensyukuri tanggung jawab yang sudah diperoleh sebagai salah satu yang sudah diberi nikmat Tuhan mendapatkan kemudahan mencari ilmu?

Maka, siapapun kita, amalkan ilmu yang kita punya. Kita adalah salah satu dari sekian yang beruntung bisa mencecap ilmu dengan mudahnya. Sangat beruntung. Mengalahkan jutaan orang di luar sana dalam kesempatan yang sama hanya untuk bisa membuka jendela dunia.

Hal Hal yang Terjadi Selama di Kendaraan Umum

Selalu ada cerita ketika kita menikmati perjalanan sebagai traveler yang menggunakan transportasi umum di suatu daerah.

1. Nggak dapat kursi

Saya orang transportasi (sering wira wiri pakai sarana transportasi) tapi sering nggak dapat kursi. Haha. Kacau kan. Nggak dapat kursi di kereta, krl, bis udah biasa. Lebaran susah pulang karena tiket habis udah biasa. Di bis berdiri sampai tiga jam, pernah. Dan hal hal remeh lain yang juga dialami sama semua umat di bumi ini. Atau dapat tempat tapi berdesak desakan bersama ayam, sayur sayuran, beras dan aneka hasil bumi. Pernah suatu ketika saya harus pergi ke rumah nenek saya di nun jauh sana, satu satunya transportasi masal hanya sebuah mobil bak terbuka yang dimodifikasi dengan diberi penutup sehingga penumpangnya nggak kehujanan. Udah sopirnya asal masukin penumpang, belum barang barangnya yang kayak orang mau pindahan rumah, buanyaknya minta ampun. Saya harus nekuk kaki sampai dua jam. Kebayang capeknya.

2. Penumpang lain yang enggak care

Percayalah bahwa modernitas tidak hanya membawa dampak positif semata tapi juga semakin menumpulnya kepedulian. Saya pernah berdiri lama dan tidak ada penumpang yang ngasih tahu saya bahwa kursi di agak belakang saya ternyata sudah kosong lama. Dan naik turun penumpang di stasiun udah berpuluh puluh menit lalu sampai stasiun berikutnya. Rasanya? pengen nyumpah serapah. Capek banget mana pas itu saya sakit. Tapi ditahan tahan lah. Haha. Sabar.. sabar.. . Hal lain yang bikin gedeg adalah ketika ada seorang ibu hamil bawa anaknya naik kereta karena si anak yang tertua yang masih sekitar empat tahunan itu pengen merasakan naik kereta. Ada seorang anak muda headsetan, hapean dimana hapenya adalah iphone yang notabene hape kelas ekonomi mampu (sekere kerenya orang, kalau hapenya iphone pasti orang bakal mikir ini orang tajir meski entah kenyataannya seperti apa). Si gadis muda yang duduknya terdekat dengan posisi ibu hamil yang ngglesor di lantai kereta ini, saya panggil. Ia menengok dan saya harapkan ia bisa bertukar posisi dengan si ibu hamil. What I get? dia melengos dan kembali melanjutkan sibuk dengan hape mehongnya. Njirrrrr. Kamu sekolah tinggi tinggi tapi etika nggak punya. Saya jadi kasihan sama orang tuanya. Saya jadi semakin iba dengan si ibu ini. Ah, andaikan saya dapat tempat duduk pasti sudah saya kasih ke ibu itu. Ketika saya bercerita pada teman saya yang tinggal di Ibukota, ia berkomentar “itu Jogja lho ya, believe or not di Jakarta mah udah biasa kayak gitu”. Nah lho.. Dan itu jadi refleksi untuk saya sendiri. Jangan jangan saya juga sama seperti si gadis muda ini. Tidak peka. Ah, naudzubillah. Semoga saya masih punya rasa peka.

3. Mual karena ac dan pengharum ruangan

This almost happened all the time. Sekeren apa bisnya kalau ac, bau pengharum ruangan dan solar campur jadi satu duhhhh mendadak sekarat perut ini. Makanya saya usahakan tidak makan banyak kalau mau bepergian dengan bis. Tolak angin, kulit jeruk atau apapun yang bisa saya usahakan untuk menghalau mual selalu saya bawa. Kalau kepepetnya nggak dibawa ya mau tidak mau satu satunya yang bisa saya lakukan adalah menyugesti diri saya untuk “muntahnya nanti aja ya kalau udah turun dari bis, plis”. Ya mau gimana lagi. Mending dimuntahin biar lega sekalian. Tapi nanti kalau udah turun dari bis 😀

4. Nyender di bahu orang.

Yes and its true. It happened on me sometimes. Saking capeknya, kadang saya bisa asik ketiduran tanpa sadar kalau ternyata bahu saya nyender ke bahu orang. Siapapun yang ada di bangku sebelah saya. Kalau miring ke kiri kanannya kaca sih nyendernya ke kaca. Tapi kalau ternyata kanan kiri kita adalah bahu orang?. Haha. Suatu ketika saya pernah kena damprat seorang warga tetangga kakek saya karena saya tidur sambil nyender. Pas kebangun karena didorong, saya baru sadar semua orang menatap saya. Baru sadar setelah dimaki maki pakai bahasa setempat. Saya cuma paham tapi nggak bisa balas. Haha. “Dek, jangan mengantuk. Saya juga capek. Kalau kepalamu kemana mana saya juga nggak bisa duduk”. Nah lho, si embah embah ini marah. Saya cuma bisa cengengesan sambil minta maaf saking awkwardnya. Di lain kesempatan, saya nyender di bahu seorang mbak mbak kuliahan yang juga mau pulang ke kampungnya. Nampaknya si embak ini nggak tega membangunkan saya karena saya benar benar lelap. Fine. Thankyyou. Pernah juga nyender di mas mas. Tapi nggak lama kemudian kebangung karena kepala saya pegel. Haha. Kayaknya masnya nggak iklas. wkwkw.

5. Kelewatan tempat tujuan

Kelewatan tujuan adalah salah satu kebodohan yang pernah saya lakukan. How come? karena saya teler atau terlalu asik main hape atau baca buku. Pernah saya kelewatan tujuan sampai ke Madiun gara gara saya masih tidur di kereta. Sadarnya waktu plang Solo Balapan udah lewat di depan mata akhirnya saya bablasin sekalian sampai ke Madiun. Geblek kan. Haha. Pernah juga saya hampir kelewatan ke Semarang karena saya sibuk dengan hape ternyata Bawen udah kelewat. Haha. Untung belum terlalu parah. Juga saya jalan jauh sampe satu kilometer (satu km lumayan juga kalau jalan kaki) karena saya kelewatan baca peta di maps. Nggak sempat bilang ke pak kondektur dan taraaa.. udah bagus nggak kelewatan sampai ke Purwodadi. Haha.

6. Dapat temen ngobrol asik

Solo traveling memang menyenangkan. Tapi lebih menyenangkan jika ada companion selama perjalanan. Nggak ada teman buat nemenin traveling bukan masalah besar toh jaman naw sudah banyak solo traveler perempuan. Its okay to go alone. Hanya saja memang membosankan. Haha. Tapi selama kita mau usaha untuk be friendly, kita selalu akan dapat teman ngobrol asik selama perjalanan. Berawal dari basa basi remeh dan kemudian kalau teman seperjalanan kita asik ya bisa sampai mana mana topiknya. Bahkan bisa tukeran sosmed atau nomer telepon. Dan kadang malah masih ada hubungan jauh entah itu temennya si A, atau almamater dari sekolah yang sama atau dari daerah yang sama. Nggak krik krik lah selama perjalanan.

7. Ketinggalan barang barang penting

Saya paling nggak suka nenteng barang. Why? karena saya pelupa, teledor sekalian. Entah sudah berapa kali saya meninggalkan barang barang di kendaraan umum. Dari kacamata hitam yang saya letakkan di celah kursi kereta, buku, dan sebuah tas berisi jajanan lebaran yang saya mau cemal cemil perjalanan ke Purwokerto hilang seketika di halte bus akibat tak terbawa gara gara saya lupa. Fine. How I hate keteledoran saya.

8. Pengamen dan orang jualan sepanjang perjalanan

Poin ke delapan ini adalah usul dari salah satu reader blog saya. Haha. Well, bener juga ya. Kalau ikut kendaraan umum, pengamen dan pedagang asongan adalah bagian tak terpisahkan. Pengamen ada banyak jenis. Ada yang membawakan lagu lagu catchy pop masa kini, ada yang nyanyi seadaanya tapi maunya cuma duitnya. Tapi ada juga yang membawakan lagu dengan lirik mendalam, jadi nggak sayang ngasih duitnya. Ada juga  nyindir nyindir sampai maksa maksa. Belum lagi yang pedagang asongan. Sekalinya naik, udah satu kampung naik semua. Barang dagangannya serupa: mijon, pruti, akuwa, tahu lima ribu tiga, kacang goreng, kacang rebus, tisu, usus goreng. Udah itu biasanya mah. Ada yang menawarkan dagangannya dengan ramah, ada juga yang begajulan. Ah, sungguh meramaikan suasana bis. Haha.

Kalau di kereta, katanya para orang jaman dahulu sih, sempat juga masa masa jaya pengamen dan asongan jualan sepanjang perjalanan kereta. Jadi di kereta nggak ada namanya kelaparan karena sumber makanan tersedia dua puluh empat jam. Haha. Cuma sekarang restrukturisasi di kereta membuat para pengamen dan asongan tidak bisa mengais rejeki di atas kereta api atau di stasiun. Pastinya sebuah kerugian untuk mereka tapi namanya perubahan jaman, semua orang harus siap untuk adaptasi.

9. Gerombolan tukang berisik

Ada kalanya kita berharap bisa duduk melepas lelah di atas kendaraan habis seharian berjalan sembari menanti sampai ke kota tujuan. Bahkan pengennya tepar biar pas bangun, sampai, dalam keadaan seger. Tapi apa yang didapat? gerbong kereta atau bis dalam keadaan ramai karena ada sekumpulan anak muda, emak emak atau bapak bapak yang super cerewet entah ngobrol, nggosip atau main kartu. Ah, shit. Kezel emang. Apalagi kalau udah jam tidur. Rasa hati pengen tidur tapi cemberut daritadi nggak bisa tidur karena denger orang berisik sepanjang waktu. Yang bisa dilakukan: menegur. Kalau nggak berani? bilang ke kondekturnya bahwa kondisi gerbong yang berisik bikin kita terganggu. Pasti gerombolan itu akan kena teguran dan akhirnya mereka nyadar dan kita bisa tidur dengan nyenyak :D. Eits, nggak cuma tukang berisik, kadang kita juga nggak bisa tidur karena ada ‘orang berisik’ alias orang ngorok di kereta. Saya pernah sebelahan sama bapak bapak yang ngorok. Sumpah, nggak bisa tidur. Duhh. sedih banget. Mau dibangunin, kasihan takut ngganggu. Nggak dibangunin, kitanya yang capek nggak bisa tidur. Serba salah. Haha. Solusinya: Kalau memang ada tempat kosong di kendaraan tersebut, pindah dan boboklah dengan nyaman. Tapi kalau kereta penuh, mungkin bisa ingatkan (kalau berani dan tidak sungkan). Tapi kalau masih kuat, ya udah nikmati sepanjang jalan. Kalau kita kecapekan sendiri ya paling ketiduran sendiri 😀

10. Vandalisme dan asal buang sampah

Sebuah bus umum penuh dengan sampah dan coretan di kursinya rasanya sudah hal biasa di negeri ini. Atau angkot deh. Biasanya pelakunya adalah anak anak bau kencur yang belum ngerti kerasnya hidup. Coretannya biasanya ejek ejekan anak kelas lain atau ancaman pada geng lain. Bikin rusak pemandangan. Tapi melihat coretan coretan itu rasanya kita kembali ke masa ketika kita masih kecil. Ribut sama teman temen, main kesana kemari. Haha. Cuma ya nggak baiklah coret coret nggak mutu gitu. Akan lebih baik kalau transportasi di Indonesia dalam keadaan bersih. Bersih kan lebih enak dilihat.

Berapa banyak orang Indonesia yang sekolah sampai tingkat tinggi (minimal SMA lah). Berarti sudah nggak banyak yang buta aksara kan?. Tapi nggak banyak yang bisa baca bahwa sampah harus dibuang pada tempat sampah, bukan dibuang di lantai, di selempitan kursi atau di sembarang tempat. Kenyataannya? lantai bus penuh dengan plastik minuman, kulit kacang, puntung rokok dan aneka warna sampah lainnya. Ujung ujungnya kita yang manyun terus terusan menyalahkan pengelola bis yang terkesan tidak peduli dan akhirnya kita menyalahkan pemerintah ini itu. Padahal kita sendiri adalah pihak yang paling nggak care pada kebersihan. Well.. gimana mau bersih kalau kita tidak mulai jadi orang yang peduli kebersihan. Semoga saya bisa belajar.

Well.. segitu dulu ya mengenai apa yang saya rasakan selama menggunakan kendaraan umum. Saya punya harapan bisa melancong ke negeri lain dan merasakan jadi traveler di negara tersebut. Entah kapan :D.

Menyusuri Sungai Para Hyang

dip3 1682

Fortressnya Superman yang sudah ternaturalisasi di bumi

Bandung adalah perpaduan antara modernitas dan alam yang masih menjadi misteri. Sangat menyenangkan untuk nongkrong di sepanjang sudut kota yang penuh dengan romantisme ala anak gadis yang selalu berbenah: kadang menor kadang simpel dan mengikuti dinamisme jaman. Tapi Bandung juga masih mempertahankan keasrian alamnya (di sebagian tempat). Bandung sama macetnya dengan Jakarta, tapi karena letaknya di kayangan, emosi yang tadinya membara, seketika teredam oleh sejuknya hawa yang menyusup di sela dedaunan. Pun tak hanya tengah kota Bandung yang bisa ditelusuri. Bandung punya eksotisme di ujung ujung yang patut untuk dijelajahi: Danau (atau sungai) Heuleut, sebuah sungai nun di ujung Bandung Barat.

Sungai Heuleut (mulai sekarang, sungai saja ya karena memang sungai sih), adalah sebuah aliran air di hulu sungai Citarum. Letaknya pun nun jauh di dalam area perkebunan (atau hutan sih?) milik Perhutani. Kalau dari Stasiun Bandung, kita naik kereta lokal Bandung Raya yang tarifnya Rp. 5000. Kemudian mampir dulu makan di pasar Padalarang yang murah meriah (waktu itu sih saya makan bubur cuma Rp. 6000. Hehe. Dimana kalau saya beli di Bandung kota, harga bubur bisa Rp. 15.000). Habis makan, naik angkot arah Rajamandala kurang lebih Rp. 10.000. Turun di depan gerbang plang ke arah PLTA Saguling. Mulai dari Gerbang plang menuju PLTA Saguling itulah perjalanan bermula. Ada angkutan umumkah disana? ojek online? jawabannya t i d a k   a d a. Kita harus ikut ojek pangkalan atau pakai motor sendiri. Berapa tarifnya? Kurang lebih minimal Rp. 30.000 untuk 30-45 menit perjalanan. Bisa dimaklumi sih tarifnya segitu, soalnya jalannya jauh, kelak kelok dan cukup sepi juga.

Perjalanan tidak seketika berhenti saat kita memarkirkan motor. Perjalanan masih belum berakhir. Dari pos masuk Heuleut, kita masih harus berjalan kaki kurang lebih 45 menit bahkan lebih untuk mencapai sungai. Jalan setapak naik turun didominasi kanan kiri tanaman jagung, padi gogo (itutuh padi yang tahan cuaca dan tahan air minim), pohon milik perhutani dan menuju Heuleut, sudah tanaman tanaman aneka ragam di hutan. Seperempat perjalanan awal, jalanan masih agak datar, mulai separuh perjalanan, kita akan menuruni bukit. Turun ke Heuleutnya sih enak aja. Pulangnya… tadaaaaa.. lutut rasanya mau copot juga. Haha. Oh ya, sebaiknya pakai topi kalau cuaca sedang panas. Kalau letih, di separuh perjalanan ada warung kecil di kanan jalan, tempat warga sekitar mengais rejeki. Pengunjung bisa mampir disana untuk beli popmi atau air mineral

Menuju 200 meter menuju Sungai Heulet, di sebuah pertigaan tersembunyi air terjun kecil. Sayangnya saya lupa apa nama air terjunnya. Hehe. Air yang menyegarkan bisa jadi pembuka sebelum menceburkan diri ke air Heuleut yang sesungguhnya.

Kurang lebih 10 menit kemudian, kita akan sampai ke Sungai Heuleut. Jalanannya? jangan tanya. Sangat disarankan pakai alas kaki yang nyaman. Sangattt minimal, pakai sandal jepit karet swallow. Jangan centil pakai sepatu fantovel atau sepatu flatshoes. Niscaya sepatu sepatu kalian yang harganya selangit itu hanya akan tinggal kerangkanya. Kalau bisa sih pakai sepatu/sandal hiking atau sepatu sport.

Dan.. tibalah kita di sungai Heuleut yang airnya coklat agak jernih. Kalaulah kalian menemukan air Heuleut di gugel, percayalah sotosop adalah teknologi terciamik saat ini untuk menipu mata. Dan jangan salah, kedalaman air di Heulet bisa mencapai 8-12 meter di kolam paling atas. Kolam kedua, berkedalaman kurang lebih 2-3 meter. Kolam terakhir masih 1-2 meter. Disusul aliran terakhir, air mengalir melalui sela sela bebatuan sehingga masih aman untuk para orang tua yang membawa anak anaknya turun ke sungai. Menurut guide kami waktu itu, jam ramai orang ada di lepas dhuhur. Bisa dimaklumi karena jauhnya jarak membuat mereka baru bisa sampai di lokasi ketika matahari sudah terik. Belum jalan kaki menuju site yang bikin ngos ngosan kalau tidak biasa olahraga. Bahkan ada juga yang nekat turun ke Heuleut ketika matahari sudah mulai tergelincir. Ini sih nekat betul. Tapi biasanya nggak akan dibolehkan oleh pengelola. Daripada nyari mati. Iya kan?. Jalan setapak menuju Heuleut yang naik turun itu tidak ada penerangan samasekali, namanya juga hutan, selo bener orang mau ngasih lampu penerangan. Emangnya taman wisata. Takutnya kalau buat area mesum, lagipula area hutan kan berbahaya juga kalau sudah malam. Banyak binatang liar berkeliaran.

Saran: sewalah pelampung dari pengelola setempat. Harganya masih wajar kok, Rp. 15.000,-. Untuk keselamatan aja karena kedalaman Heuleut yang lumayan juga. Meskipun ada tim SAR setempat, tetap disarankan pakai pelampung untuk keamanan.

Oh ya ada cerita sedikit dari bapak pengelola setempat soal kejadian teledor beberapa tahun lalu yang mengakibatkan korban di Heueleut. Seperti halnya anak anak muda yang adrenalinnya masih kenceng kencengnya, ada sekumpulan anak masuk ke area Heuleut tanpa melewati pos masuk. Jadi, ceritanya mereka parkir kendaraan di pinggir jalan, kemudian masuk ilegal lewat hutan dengan cara mengikuti aliran sungai sampai ke kolam Heuleut. Nah, kebetulan hari sudah sore dan tidak ada satupun anak yang tahu bahwa kolam di Heuleut memiliki kedalaman yang lumayan. Semua orang mengabaikan prosedur keselamatan, main cebar cebur dan ada salah satu yang tenggelam. Teman temannya bergegas mencari bantuan dan mayat si anak baru bisa ketemu beberapa jam kemudian. Itupun evakuasinya juga pasti susah banget, harus lewat aliran sungai sampai ke jalan raya. Sangat merepotkan.

Dari cerita di atas, semua orang harusnya bisa mengambil pelajaran: hidup dan mati kita jangan merepotkan orang lain. Apa sih susahnya membayar sekian ribu rupiah untuk sekedar kulonuwun, ijin pada warga setempat, memberi tahu bahwa kita orang luar ingin main berkunjung ke tempat mereka. Apalagi ini posnya resmi milik Pokdarwis setempat. Selain memberi tahu bahwa kita adalah tamu, tentunya bisa membantu Pokdarwis setempat mengembangkan desa mereka dengan pariwisata. Ya darimana desa wisata bisa berkembang kalau bukan karena ada wisatawan dan pengelola wisata (pemerintah mah baru akan turun gunung kalau udah agak bagusan dikit). Jadi minta ijin bukan sekedar ngasih tau dan ngasih uang (yang biasanya nggak seberapa mahalnya), tapi kita juga membantu pengembangan perekonomian dan pariwisata lokal. Kita nggak cuma jago menghujat pemerintah dan nyinyir ini itu bahwa pemerintah nggak becus kan? Kita harusnya juga bisa urun rembug urun tindakan untuk memajukan negeri kita meskipun dengan hal yang paling sederhana sekalipun. Agak meleber ya bahasannya. Hehe. Tapi tetep masih nyambung kok.

Ok, balik lagi mengapa harus lewat pos resmi kalau kita pergi ke tempat wisata di sebuah daerah. Tentu saja karena kita bukan warga lokal setempat (kecuali kalau kita akamsi ‘anak kampung sini’ yang paham medan), kita sebagai tamu harus ijin. Ya kalik masuk rumah orang asal nyelonong aja. Di balik itu semua yang terpenting adalah ketika terjadi apa apa, warga setempat bisa sigap membantu dan menyelamatkan kita. Seperti halnya kasus si salah satu anak yang tenggelam di Heuleut, kan pada akhirnya teman temannya pergi ke atas dan mencari bantuan pada desa setempat. Nah lho, nggak pada tahu juga kan kalau ternyata sungainya dalam karena mereka mengabaikan faktor keselamatan. Mereka pikir bisa asal masuk rumah orang dan cebar cebur begitu aja. Toh pada akhirnya mereka juga merepotkan banyak orang. Udah merepotkan warga, juga merepotkan keluarga. Bisa dibayangkan bagaimana cemasnya orang tua dan saudara mereka mengetahui kabar musibah malamnya. Pulang menantikan anak untuk makan bersama, ternyata yang datang adalah mayatnya. Belum lagi teman temannya akan dihantui rasa bersalah seumur hidup. Diikuti dengan semua andai andai ‘andai kita kemarin nggak punya ide berenang, andai kita nggak punya pikiran sampai ke Heuleut, andai kita nggak asal nyebur, andai kita nggak ini andai kita nggak itu dan ribuan andai andai yang sudah jadi bubur. Kan ngeri juga. Maka, dimanapun kita berada usahakan hormati adat setempat. Dan yang terpenting adalah: doa. Meskipun ajal sudah ditentukan oleh Yang Kuasa, tapi doa adalah yang membuat kita selalu percaya akan selalu ada kesempatan kedua untuk hidup membahagiakan keluarga lebih lama.

Dua setengah jam di Heuleut, tak terasa letihnya. Kami pun bergegas untuk pulang. Jalan pulangnya… duhhh ampunnnn. Orang orang yang olahraganya nggak teratur kayak saya ini, habis waktu untuk dikit dikit berhenti di tengah jalan. Lega banget waktu udah sampai Pos, kira kira satu jam perjalanan. Setelah kami istirahat sebentar sholat ashar, kami turun menuju Rajamandala.

Oh ya, kami sempat turun sebentar ke PLTA Saguling. Ada jalan kecil menuju samping PLTA untuk melihat Sanghyang Tikoro, aliran sungai yang menuju goa antah berantah. Dinamakan Tikoro karena mulut goa yang mirip kerongkongan. Jadi bisa dibilang aliran airnya masuk ke kerongkongan raksasa. Sampai sekarang belum ada yang tahu kemana arahnya aliran air Tikoro. Sangat jauh berbeda dengan aliran air di Heuleut, aliran Tikoro sangat deras dan cukup berbahaya. Lagipula nggak ada yang selo banget mau main air di Tikoro. Liatnya aja udah ngeri. Haha.

Well, jalanan menuju Rajamandala masih sama sepinya dengan tadi pagi ketika kami naik ke Heuleut. Dan saya udah tepar. Pengen cepet sampai kasur.

Sekolah Permen Warna Warni

Dunia ini penuh dengan warna warni. Anak anaklah yang mewarnai dunia. Masa kecil yang bebas berteman dengan siapapun tapi juga diwarnai dengan perbedaan yang terkadang rasial. Kita terbiasa dengan kehidupan yang monoton, terbiasa dengan keseragaman sehingga gumunan dengan hal hal yang baru. Besarnya, kita jadi suka menyalah nyalahkan hal hal yang kita anggap berbeda seolah hanya kita yang benar dan yang lain salah.

SMK Bhakti Karya Parigi hadir dengan perspektif baru. Sekolah ini memang tidak punya banyak murid seperti layaknya sekolah pada umumnya yang sampai ratusan orang. Tapi sekolah ini punya apa yang belum tentu dimiliki sekolah biasa: keragaman dari Sabang sampai Merauke. Ya, murid di sekolah ini berasal dari seluruh Indonesia. Tidak banyak memang. Satu kelas hanya diisi kurang lebih 15 sampai 20 orang. Bahkan ada kelas yang tingkat okupansinya tidak mencapai 20 orang. Luar biasanya, biaya pendidikan sampai biaya transportasi dari daerah mereka menuju sekolah ini ditanggung full.

dip3 953

Pada awalnya, sekolah ini adalah sekolah yang didirikan di atas gedung kopra desa setempat. Pada perkembangannya murid yang tadinya cukup banyak hanya tersisa segelintir saja. Keadaan ini tentu membuat para warga desa prihatin. Berawal dari inisiatif komunitas Sabalad, sebuah komunitas baca di desa Sukacinta, mereka mulai menyemai kembali benih berdirinya sekolah ini. Murid murid yang tadinya tidak terakomodir kebutuhan belajarnya, kini sudah bisa bersuka cita dengan hadirnya SMK Bakti Karya Parigi.

Jurusan yang ada di sekolah ini menitikberatkan pada perkembangan multimedia dan teknik komputer jaringan. Dengan keterbatasan alat dan keadaan, mereka terus bersemangat untuk selalu belajar. Anak anak terbiasa melek teknologi dan mampu menghasilkan karya karya yang tidak kalah dengan sekolah elit yang mampu menyediakan fasilitas lengkap. Selain kelas multimedia, sekolah ini memiliki kelas multikultural dimana siswanya yang beragam akan membentuk pola pikir menghargai keberagaman yang akan mengikis sekat sekat intoleransi yang selama ini membayangi mereka. Kelas Profesi, sebuah kelas sharing session bersama teman teman dari luar mengenai kegiatan yang digeluti entah komunitas atau pekerjaan sehingga siswa bisa tahu mengenai dunia yang akan mereka hadapi selepas sekolah. Kelas ini sebagai ajang tukar disiplin ilmu sehingga pemikiran anak anak menjadi lebih luas.

Saya sempat mengisi pada salah satu sesi sharing di kelas mereka. Sungguh, anak anak ini sangat antusias mendengar pengalaman yang kami sampaikan. Tidak jarang mereka bertanya sehingga interaksi di kelas menjadi hidup. Rasa ingin tahu mereka terhadap dunia luar begitu tinggi. Bahkan mereka berinisiatif sendiri mencari bahan materi sehingga menambah ilmu yang mereka miliki. Yang menyenangkan adalah siswa tidak dipaksa mengikuti metode formal. Mereka dibebaskan untuk memilih sendiri cara belajar yang mereka inginkan sehingga tidak jarang mereka belajar sendiri di perpus, diskusi dan mengeksplorasi apa yang ada di alam.

Mengapa anak SMA? menurut cerita dari Kak Ai, salah satu inisiator sekolah ini, mengapa anak SMA kenapa tidak anak anak SD yang bisa dibentuk dari awal. Anak anak SMA sudah punya gambaran utuh tentang masa depan mereka dan cara pandang untuk melihat sebuah masalah secara lebih obyektif. Kalau anak SD, si orang tua masih sayang sayangnya deket sama anak. Anak SMP, masih belum bisa masuk kategori. Anak usia SMA dianggap masa paling pas untuk membentuk karakter anak dekat dengan keragaman. Anak anak SMA yang masih unyu unyu ini akan berpisah ketika liburan tiba atau ketika lulus. Dan mereka akan pulang kembali ke daerah masing masing untuk menularkan perspektif baru mereka tentang toleransi di tengah tengah masyarakat daerahnya masing masing. Seorang murid yang berasal dari Papua bercerita bahwa ia ingin pulang ke desanya sebagai salah satu orang yang berusaha menghentikan tradisi pertikaian suku di kampungnya. Ia menyadari bahwa tidak semua hal bisa diselesaikan dengan kekerasan. Ia ingin menjadi seorang agent of peace untuk desanya. Inilah tujuan mengapa mulai tahun 2016 sekolah ini didirikan. Untuk menebarkan virus perdamaian yang dibawa oleh agent of change, mereka para anak muda murid SMK Bakti Karya Parigi, yang datang berbondong bondong dari daerah masing masing. Semuanya berkumpul di Parigi, sebuah daerah nun dekat Pantai Pangandaran, kawah candradimuka para pejuang toleransi masa depan. Semua anak disemai bakatnya untuk menjadi seorang leader masa depan yang bisa membawa desa mereka ke arah yang lebih baik.

Siapapun bisa main ke sekolah ini. Kalau dari Stasiun Banjar, naik bis bertarif 25.000-35.000 rupiah menuju Parigi selama kurang lebih 3-4 jam. Kemudian menggunakan motor untuk sampai ke Desa Sukacinta (atau Cintakarya, ya? Haha) selama kurang lebih 30 menit.

Jam pelajaran dimulai dengan tegur sapa bercerita dari setiap guru atau murid bergantian setiap paginya.

fvfsds

Mereka tinggal di asrama terpisah yang terletak tidak jauh dari sekolah. Aktifitas selama 24 jam terpantau oleh guru dan wali yang sama sama tinggal tidak jauh dari asrama mereka. Tidak ada pungutan sedikitpun dibebankan pada siswa siswi. Bahkan tidak jarang pengelola yayasan harus berhutang sana sini untuk menutup biaya operasional sekolah yang tinggi. Mulai uang tiket si anak dari daerah menuju Parigi, seragam, SPP,  perlengkapan sekolah, biaya makan sehari hari kecuali uang jajan mereka ditanggung oleh pihak yayasan. Sekolah ini bertahan dengan bantuan para donatur Bakti Karya Fellow dan Bakti Karya Life juga dari kitabisa.com serta donasi dari berbagai pihak yang setiap bulannya menyisihkan sebagian rejekinya untuk kelangsungan pendidikan anak anak ini. Itupun tidak bisa serta merta menutupi tingginya biaya hidup anak anak. Seringkali donasi tidak seluruhnya bisa terkumpul dan itupun masih banyak donatur yang tidak mengirimkan tepat waktu. Tergerak ingin membantu? Please check https://www.sbk.sch.id.

dip3 1001

Penyemangat

dip3 1004

Kata kata mutiara

fggagadfd

KedungOmbo: Piknik Yuk!

Sedari kecil, hobi ayah saya: dolan, keluyuran dan mancing. Saya tahu betul mengapa ayah saya hobi dolan. Lingkungan tempat beliau kecil tinggal adalah lingkungan hijau pegunungan yang masih asri. Ke sawah, main di ladang, berburu rusa, mancing di kolam. Yes, its a nature. Human nature livin in nature. Hingga punya istri dan tinggal di Jawa pun, hobi ayah saya tidak berubah samasekali. Apalagi soal memancing. Beliau selo selo saja menempuh perjalan puluhan kilo ke kabupaten sebelah untuk menghabiskan waktu berjam jam mancing. Tak jarang nginep sambil digigitin nyamuk rawa yang jumbo jumbo itu. Berangkat sabtu sore, sampai rumah minggu petang dengan ikan ikan segar khas rawa.

dip3 422

Salah satu tempat dimana ayah saya mancing adalah Waduk Kedung Ombo. Kedung sendiri artinya cekungan berisi air, sedangkan Ombo artinya luas. Jadi Kedung Ombo ini adalah danau yang luas. Begitu kira kira. Danau (lebih tepatnya sih waduk) ini tentu saja tidak terjadi secara tiba tiba. Waduk ini dibuat pada jaman orde baru dengan mengorbankan beberapa wilayah desa yang ditenggelamkan aliran air sungai Bengawan Solo. Kalau dari arah Purwodadi, kira kira 30-40 menit perjalanan. Paling asik, kurang lebih 10 menit menuju kanan kiri hamparan perkebunan Perhutani entah itu kayu jati atau kayu putih. Ademmm. Sayangnya (hampir) tidak ada transportasi umum yang mengarah ke waduk. Bagaimana bisa kesana? Motor dan mobil pribadi. Tidak lain tidak bukan. Rata rata yang berkunjung ke waduk memang para pemancing dan piknikers yang membawa serta seluruh silsilah keluarganya. Hehe. Sayang sekali daerah jalanan menuju Kedung Ombo tidak banyak penerangan. Sungguh sungguh rawan kejahatan dan tindak asusila. Jadi, bagi para pengunjung yang mau pulang, jangan kemalaman ya.

Waduk Kedung Ombo ini bisa dibilang cukup instagramable. Ada spot yang dicurigai gambar default home windows XP jangan jangan diambil dari tempat ini. Haha. Sebenarnya yang saya maksud dengan default Windows XP itu adalah tanggul pembuangan aliran air Kedung Ombo yang ditumbuhi rerumputan hijau ciamik. Sayang sekali (bahkan syukurnya) tempat ini dikelilingi oleh pagar yang cukup tinggi untuk dilompati. Waktu itu saya, Liana dan saudaranya sampai di Kedung Ombo pukul 10.30. Well dalam cuaca jam 10 pagi yang panasnya kayak jam 12 itu banyak berkeliaran kimcil kimcil setempat parkir motor sambil berduan bahkan bergerombol. Selo bener :D. Bayangkan jika kimcil kimcil ini (bahkan saya) lompat pagar dan menginjak injak rumput cantik itu dan viral kayak kejadian rusaknya hamparan bunga lili di Gunung Kidul gara gara pengunjung bego dan alay beberapa tahun lalu? Pasti sangat disayangkan.

dip3 309

Sampai di gerbang waduk, banyak mobil yang parkir justru di depan gerbang. Sayang sekali kami tidak bisa masuk ke area wisata waduk. Ternyata renovasi area sekitar waduk masih berlangsung dan pedagang yang tadinya ada di sekitar waduk dipindahkan ke area sementara. Suasana ‘pasar’ cukup riuh dengan ajakan penjual agar pembeli mampir ke lapak mereka. Total pedagang saat itu mungkin kurang lebih 30-40 pedagang. Produk? Rata rata sama. Bakaran ikan yang ditusuk dengan bambu, es degan, minuman dingin, lesehan nasi ikan bakar lengkap yang dijual dengan harga Rp. 15.000-20.000 rupiah. Tidak hanya di makan di tekape, saya lihat banyak juga warga yang membawa pulang oleh oleh ikan bakar ini ke rumah. Bertusuk tusuk bambu berisi ikan siap untuk disantap bersama keluarga.

Sedikit kecewa karena tidak bisa masuk ke arena waduk, kami balik kanan mau pulang. Namun secara tidak sengaja kami melihat plang iklan warung makan apung Waduk Kedung Ombo yang berjarak ‘hanya’ satu kilometer arah utara pasar ikan. Kalau kata temen saya yang native sana, daya tariknya nggak jauh beda dengan area waduk yang direnovasi. Lesehan tempat makan sambil menikmati hembusan angin waduk sembari makan ikan bakar. Well.. cucok untuk piknik keluarga. Terbukti banyak banget rombongan yang bawa anak cucu lesehan di atas tikar sambil minum es kelapa muda.

Untuk kalian kalian yang ingin main air. Bukan literally main air ya sebenarnya. Ada larangan untuk berenang karena berbahaya. Bahkan menurut cerita warga setempat, masih ada buaya (mungkin bukan buaya ya tapi biawak) yang berkeliaran di sekitar danau. Temennya kakaknya Liana sampai harus pindah tempat prewedding gara gara informasi ini. Hihihi. Memang terkesan menakut nakuti tapi lebih baik dengarkan penduduk sekitar karena mereka lah yang lebih tahu.

Saya sebenernya kepikiran juga buat mancing kayak bapak saya. Tapi apa daya saya lebih pengen muter muter danau pakai perahu warga. Hihihi. Di area Waduk Kedung Ombo, kita bisa menikmati angin danau dari atas perahu. Dua sampai tiga buah perahu sepanjang kurang lebih tujuh meter sandar di pinggiran danau. Pengelola kapal baru akan berlayar ketika perahu penuh. Ya, tentu saja ada banyak warga yang turut serta, ibu ibu anak anak, bapak, anak muda pacaran. Campur aduk. Tarifnya? Anak anak Rp. 5000, dewasa Rp. 10.000. Para penumpang laki laki biasanya diminta bantuan untuk mendorong kapal agar apung dan bisa segera layar. Kurang lebih tiga puluh menit kami berputar putar di area Kedung Ombo. Terlihat hamparan pepohonan baik pohon pohon pinus milik Perhutani maupun pisang milik warga yang memanfaatkan lahan sekitar waduk.

Anyway Kedung Ombo adalah salah satu part terbaik dari Kabupaten Grobogan. Semoga suatu saat nanti bisa berkembang lebih hits lagi (selama tidak merusak alam dan masyarakatnya).