Batursari Pemalang : Kemewahan dalam Kesederhanaan

Perjalanan saya selama setengah bulan di Pemalang memberikan saya pengalaman baru yang sungguh tidak akan pernah saya lupakan. Saya ditempatkan di sebuah keluarga muda (saya tidak bisa menganggap mereka sebagai orang tua karena usia mereka baru 30 an tahun). Meskipun selisih usia kami 15 tahun, saya merasa mereka terlalu muda untuk disebut orang tua saya.

Mereka adalah Pak Slamet dan Bu Isa, mempunyai dua orang anak. Anak pertama mereka bernama Rijal (pronoun dengan huruf -je bukan -zet) yang baru saja lulus SMP dan Umi yang masih duduk di bangku sekolah dasar kelas dua. Pak Slamet berprofesi sebagai supir travel yang melayani perjalanan ke Jakarta pulang pergi bagi warga desa Batursari. Sedangkan istrinya sebagai ibu rumah tangga yang mengerjakan kerajinan tas dari sampah plastik di sela senggangnya mengurus keluarga.

Kami disambut dengan sangat baik di kediaman mereka yang terletak di kaki Gunung Slamet. Meskipun Pak Slamet sangat sibuk, beliau selalu menyempatkan diri untuk selalu ngobrol dengan saya dan Emil. Kami juga sering diajak ke berbagai tempat seperti ke kebun, ke rumah Bapak Kades, bahkan ke pasar yang jaraknya 10 km dari rumah.

Waktu berkumpul seluruh keluarga adalah ketika waktu makan tiba. Sarapan, makan siang atau makan malam sungguh tempat yang akrab untuk mengenal satu sama lain. Nasi, sayur dan lauk yang dihidangkan, menurut saya adalah kemewahan dalam kesederhanaan. Bagaimana tidak, disela hangatnya nasi, ada perasaan hangat yang menyelimuti keluarga ini. Keluarga pegunungan yang mengutamakan kebersamaan.

Sarapan hangat di pagi nan dingin

Sarapan hangat di pagi nan dingin

Selama setengah bulan, saya rutin mandi minimal satu kali sehari. Sebenarnya saya juga orang pegunungan sehingga saya sudah biasa mandi di tengah dingin. Bisa dipastikan teman teman saya akan mandi paling tidak dua hari sekali karena cuaca yang sangat dingin. Hujan lima menit sekali disusul dengan angin membuat orang tidak mau lama lama bersentuhan dengan air. Setiap bangun pagi, saya akan segera ke kamar mandi dan segera mandi meskipun cuaca buruk. Tapi, meskipun saya rajin mandi, baju yang dipakai tidak pernah ganti. Saya tidak berani mencuci baju kecuali baju yang saya pakai pertama kali karena hujan akan membuat pakaian lama kering. Butuh waktu enam hari hanya untuk mengeringkan sebuah kaos, sebuah jeans dan tas serempang ukuran sedang. Sungguh matahari sangat dirindukan. Ketika ia datang di suatu pagi, perasaan menjadi bahagia. Saya baru merasakan mengapa orang di belahan bumi bagian lain mengagung agungkan matahari. Ternyata karena ia adalah sumber kehidupan.

Satu kesalahan fatal yang saya buat adalah salah memperkirakan baju yang saya bawa. Dua buah kaos, satu kemeja, satu batik tiga perempat, dua training, satu jeans, satu jaket, selendang kecil yang berfungsi sebagai syal, sarung tangan, kaos kaki tak lupa saya muat ke dalam daypack 40 liter. Barang yang saya bawa terhitung sangat ringkas jika dibandingkan dengan anak lain yang membawa lebih banyak perlengkapan. Tapi yang menjadi kesalahan saya adalah jaket. Seharusnya saya membawa jaket parasit atau jaket yang lebih tebal. Jaket yang saya bawa adalah jaket berbahan jeans. Saya sebenarnya adalah anggun, seorang yang lama tinggal di gunung alias anak nggunung.  Harusnya saya tahu jika jaket tersebut bukanlah jaket yang tepat. Memang, saya salah memperhitungkan letak desa yang akan saya tempati. Pada awalnya, saya pikir cuaca tidak akan sedingin ini, ternyata desa saya adalah desa terakhir di bawah gunung Slamet. Hasilnya? Kamprettt. Harus kuat menahan dingin selama dua minggu. Dua malam paling awal adalah malam siksaan dingin yang paling hebat. Dalam kondisi tubuh yang sedang mengalami penyesuaian terhadap suhu tempat baru, dan cuaca diluar yang sedang ekstrim, saya berusaha keras untuk beradaptasi. Saya menggigil kedinginan dan selalu terbangun setiap malam karena suhu dingin dan angin yang berhembus. Terpujilah mereka yang membawa selimut sedari awal. Pada akhirnya saya harus mengucapkan terimakasih pada Tuhan dan selamat pada diri saya karena tidak sakit apapun akibat salah kostum.

Saya merasa lebih sehat selama tinggal di desa ini. Sarapan, makan siang dan makan malam teratur, kegiatan yang tidak terlalu diforsir dan tidur yang teratur membuat hidup saya lebih baik. Beda dengan keseharian saya selama ini dimana saya tidak makan dan tidur dengan teratur serta kegiatan yang terlalu menyita waktu saya. Saya tidur mulai pukul 9 malam dan bangun keesokan harinya maksimal pukul 6. Padahal selama ini saya tidur tak tentu waktu, bisa pukul 10, tapi tak jarang diatas pukul 12 malam dan bangun keesokan harinya kemudian pergi lagi. Udara pegunungan yang bersih, oksigen murni tanpa polusi semakin membuat saya merasa nyaman. Di kota, polusi dari kendaraan yang melintas seolah membuat mandi cantik tidak ada gunanya (tapi bukan berarti saya nggak pernah mandi lho).

Kegiatan yang selalu saya lakukan di sore hari adalah membantu Umi belajar. Bersembunyi di bawah sarung kotak kotak, saya dan Emil berbagi tugas untuk mengajar soal matematika. Selalu setiap sore, bahkan sampai malam. Kami berharap dia tidak akan berhenti sebagai lulusan SD seperti generasi orang tuanya. Suatu saat, jika kami berkunjung lagi, setidaknya semoga dia bisa menjadi bidan desa atau guru yang menjadi pelita bagi sekitarnya.

Interaksi saya dengan masyarakat mulai membaik. Selama saya tinggal di kota, saya tidak merasakan adanya gemeinschaft yang baik antara saya dengan lingkungan. Saya tidak mengenal tetangga tetangga, tidak berbaur dan tidak mengikuti kegiatan didalamnya. Tetapi disini, saya dituntut untuk bisa berinteraksi dengan semua orang di dusun. Mengikuti pengajian, kerja bakti, PKK atau kumpul warga. Saya pikir saya sudah kehilangan kemampuan berinteraksi tetapi ajaibnya saya bisa mengakrabkan diri dengan warga.

Warga Batursari menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian dan jasa. Hampir setiap rumah memiliki kebun sayuran berupa kubis, wortel, pakcoy dan kawan kawannya (pulang dari Batursari, induk semang saya menyangoni satu kardus penuh sayur sayuran segar). Hasilnya belum tentu bisa balik modal. Bahkan jika panen gagal karena serangan hama atau cuaca yang tidak bersahabat, petani petani bermodal kecil ini akan merugi. Lagi lagi hutang akan perlahan bertambah gundukannya. Selain sayuran, pohon Kalitus juga menjadi salah satu tumpuan jangka panjang. Pohon yang diambil manfaat kayunya ini ditanam di pekarangan atau di manapun (Seluruh desa isinya Kalitus semua, mau di gang manapun pasti ada). Selang tanaman berusia sepuluh tahun atau lebih, warga bisa menjualnya. “Buat sangu sekolah anak, Mbak” kata salah seorang warga. Mebel kayu Kalitus pun tidak kalah caem dengan mebel jati atau kayu lain. Seratnya lurus dan ketahanan kayunya pun cukup kokoh. Daun Kalitus harusnya bisa menjadi sumber ekstrak atsiri yang sebotolnya ukuran lima mililiter berharga kurang lebih lima ratus ribu rupiah. Selama ini atsiri sebagian besar dipasok dari daerah yang menghasilkan cengkeh. Sebenarnya apa salahnya jika potensi daun Kalitus ini dimanfaatkan untuk menghasilkan atsiri. Tapi sayangnya, daunnya hanya akan teronggok dan membusuk begitu saja. Padahal atsiri yang terkandung di dalamnya bisa memberikan manfaat bagi kesehatan maupun perekonomian warga. Kalau ditanyakan kenapa tidak dimanfaatkan, maka jawaban klise langsung muncul. “Belum ada biaya mbak”. Ah, sayang sekali pemerintah daerah kurang begitu memperhatikan potensi ini padahal kalau saja ada sedikit dana dianggarkan untuk penelitian, pengembangan dan pengolahan atsiri Desa Batursari, tentunya akan memberikan keuntungan bagi banyak sektor. Huffft.

Bukan Indonesia jika tidak klenik dan misteri. Hampir setiap hari kami mendapatkan cerita cerita misteri mengenai desa ini. Bahkan sempat pula kami uji nyali di tengah hujan pada pukul 20.30. Memang masih terlalu pagi untuk uji nyali, tapi suasana sudah cukup mencekam pada saat itu. Hasinya? Saya yang hanya bisa menatap lurus pada kegelapan hanya bisa bersyukur karena saya tidak melihat apapun yang bisa disebut sebagai penampakan. Tapi tidak dengan yang lainnya. Emil tentu saja melihat penampakan. Roy, keponakan Bapak Slamet bahkan sempat melihat kepala besar di pertigaan jalan. Oke, uji nyali cukup sekali. Saya cukupkan untuk mendengar cerita dari warga saja, tak lagi perlu uji nyali lagi.

Di hari terakhir saya tinggal di rumah tersebut, kami ngobrol panjang dengan pemilik rumah. Mereka sedih atas kepergian kami. Kami dengan sedikit bercanda mengatakan bahwa masih ada anak anak yang tinggal di tempat pak lurah. Mereka tetap bersedih karena kami tetap tidak ada yang menggantikan. Ooooh… co cwit. Saya merasa sangat diterima di desa ini, terutama pada keluarga ini. Terimakasih yang dalam saya ucapkan pada keluarga Bapak Slamet atas semua kebaikan yang sudah diberikan pada saya dan Emil selama setengah bulan. Mbah sebelah rumah yang selalu mengijinkan saya duduk di tungku perapian sambil ngobrol sepanjang sore. Juga pada keluarga Pak Lurah (Bapak Tamat) dan warga desa. Kedekatan, ketulusan dan kesederhanaan yang akan selalu say ingat. Specially thanks for mbah Subkhi, baru pertama kali bertemu tapi saya sudah dianggap seperti cucu sendiri. Wejangan mbah akan selalu saya ingat. You are rock, Mbah !

3 comments

Leave a comment