pantai Srau

Perjalanan untuk Impian Kita

Sudah setahun yang lalu semenjak kami pertama kali melakukan perjalanan nekat ke Pacitan. Di waktu yang sama, kami mengulangnya lagi. Dengan lebih banyak orang, dengan konsep yang lebih menantang. Perjalanan di mulai sejak matahari belum menampakkan dirinya. Awalnya hanya saya dan Priyo yang muncul lebih awal. Oleh karena empat lainnya belum muncul, maka kami berdua memutuskan untuk pergi ke pasar untuk membeli beberapa bahan yang tidak sempat dibeli. Cabai, jahe, ubi telah dibeli. Saatnya melanjutkan perjalanan. Nur dan Liana tiba tidak lama setelah kami sampai. Nur bangun terlambat. Sugeng dan Rizal ternyata sudah sampai di kediaman Husein.

Pukul 5.50, kami segera menuju titik kumpul pertama, di rumah Husein, Krapyak. Sembari menunggu yang belum datang, kami mengobrol ringan di ruang tamu. The hangat di pagi hari dan sarapan membuka pagi kami. semua datang, kami memacking barang barang ke dalam mobil. Ada empat anak yang mengendarai motor dan sisanya masuk ke dalam mobil. Empat perempuan dan dua laki laki turut ke dalam mobil. 7.30, perjalanan di mulai.

Seperti biasa, kami melewati jalur selatan karena dinilai lebih cepat jarak tempuhnya. Saya memandang jalan, mengenang masa masa satu tahun lalu dimana hanya kami berenam yang melakukan perjalanan nekat dengan bahaya tak terduga yang sewaktu waktu bisa menimpa siapapun dari kami. sekarang, kamisudah merencanakan segalanya dengan lebih baik dan lebih terencana. Saya bahagia.

 Angin berhembus, dengan keceriaan yang ada, saya berdoa semoga kali ini memberikan kenangan yang sama sama berarti. Kali ini, piknik keluarga yang indah. Setahun lalu, di bawah awan putih yang berarak mendung, kami menuju sebuah tempat yang belum pernah kami kunjungi sebelumnya. Hari ini, di bawah lazuardi biru, kami berjalan bersama. Kontur yang sama, Pracimantoro, Pacitan. Dengan jalan yang lengang, kanan kiri hutan rakyat, dengan bukit bukit pendek menjulang, batu karang, rumah limasan pendek, pedesaan yang asri, jalan berlubang, tak ada sinyal, jalan berkelok. Sama seperti setahun yang lalu, di hari libut yang sama. Ketika ribuan tahun lalu Nabi melakukan perjalanannya ke surga yang sebenarnya, kami melakukan perjalanan ke salah satu surga di bumi. Menikmati keindahanNya dalam hangatnya suasana kekeluargaan.

Empat jam kemudian, kami sampai ke Pantai Srau. Pantai panjang dengan airnya yang biru karena pantulan langit cerah hari ini. Sebenarnya ada tiga area pantai. Pantai pertama dinamakan pantai Srau, pantai kedua barulah pantai Srau yang sebenarnya sedangkan pantai terakhir bernama pantai Gampar. Tapi entah kenapa Pemerintah menamakan pantai yang kedua dengan pantai Srau. Menurut saya seharusnya pemerintah lebih jeli dengan sebutan pantai oleh orang orang setempat. Kami memilih pantai pertama karena lebih kondusif, dekat dengan pemukiman warga.

Hal pertama yang kami lakukan disana adalah beristirahat sejenak, menggelar tikar, minum air kemudian beribadah. Sementara teman teman beristirahat, saya seperti biasa sudah keluyuran kemana mana mengeksplor tempat indah ini. Saya berjalan dari ujung hingga ujung. Naik ke tengah bukit dimana saya bisa melihat hamparan laut biru hingga ke tengah samudra. Saya bahkan sudah menyusuri kedua pantai lainnya. ada seorang bapak yang memancing di laut. Saya mengikutinya hingga agak ke tengah. Saya heran bagaimana ia bisa memancing ikan jika yang bisa dilihat hanyalah hamparan dasar pantai. Ia tertawa dan menunjukkan bahwa ikan bisa dilihat dari kecipak air. Saya kama memerhatikan kecipak kecipak di air. Dan saya takjub bahwa memang ikan ikan itu nyata adanya. Saya kembali untuk bermain bersama lainnya.

Sekembalinya saya dari tengah pantai, kami makan siang. Nasi yang dibuat oleh Ratna pagi tadi ditambah dengan telur asin. Jangan salah sangka, telur asin ini bukanlah telur asin yang terbuat dari telur bebek. Tapi telur dadar yang literally benar benar asin karena terlalu banyak dibubuhkan garam. Tapi semua sempurna karena dimakan bersama. Saya seperti biasa tidak bisa lepas dari sambal. Siang itu Rizal dan Sugeng melantunkan beberapa lagu dengan petikan gitar. Sesekali kami bernyanyi bersama. Suasana yang sangat sempurna.

Sore tiba, kami membagi diri menjadi tiga bagian. Bagian pertama anak anak laki laki yang membangun tenda, bagian kedua adalah anak anak yang membersihkan peralatan makan dan bagian terakhir adalah yang beberes. Pada bagian tenda, pasak yang ada ternyata masih kurang dari cukup untuk membangun tenda. Tapi nyatanya tenda berhasil didirikan juga. Kece.

Sore menjelang magrib, saya menghempaskan diri ke pasir, mencoba meninabobokkan diri dalam suara deburan ombak. Mata terpejam tapi pikiran saya kemana mana. Sudahlah, lupakan. Saya kemudian mencoba mengalihkan perhatian dengan mengobrol dengan beberapa orang.

Liana sakit. Dia masuk angin. Saya memutuskan untuk stay di tenda karena saya sedang tidak sembahyang. saya berhasil memaksa Liana untuk minum obat. Badannya panas. Kemudian ia tertidur. Ratna juga tertidur. Tinggalah saya yang terjaga bersama Rizal karena yang lain sedang bepergian entah kemana, yang ternyata sedang mencari sinyal nun jauh beberapa ratus meter di dalam kegelapan sana. Kami berdua melantunkan lagu.

Pukul 6.30, Sugeng, Dani, Priyok, Nur, Husein menyiapkan kayu bakar untuk membuat api unggun. Tidak lama kemudian, kami siap untuk memasukkan ubi ke dalam api. Sementara beberapa teman melakukan ibadah isya, saya, Endah dan Ratna menyiapkan peralatan untuk memasak. Nesting berupa panic pancian yang dibawa dari rumah, gas portable, mi mian, air gallon tertata di dekat api unggun. Saya masih takut untuk menghidupkan api pada gas portabel. Endah memutuskan untuk membangunkan Husen dari tidurnya karena kami merasa tidak aman jika bukan ahlinya yang menghidupkan. Masalah api selesai. Air minum dalam ceret segera naik ke dalam api unggun, panic untuk memasak mi dinaikkan ke atas gas portabel. Yang memasak mi Dani dan Endah. Mana mereka berdua ini dari tadi ribut melulu. Si Endah marah marah karena banyak yang dia rasa tidak sesuai. Dani apalagi, dia marah marah kayak cewek PMS. Dan saya cuma tertawa, malas untuk menanggapi.

Mi selesai dibuat, kami makan dua kloter. Karena keterbatasan piring (sebenarnya ada satu dua anak yang belum mengeluarkan piringnya. Alasannya karena males. -.-. huft. Dasar kalian ini apa apaan), kami makan sepiring berdua. Kloter kedua saya malah makan sendirian karena Ratna makan duluan sedangkan saya masih dalam proses menggoreng lauk. Jadilah saya harus makan agak lebih pelan karena banyaknya porsi mi dan tidak ada yang mau bantuin saya makan. -.-

Mi selesai, nugget sudah habis dilahap, sosis juga sudah digoreng. Kami masih sempat menghabiskan waktu dengan bernyanyi nyanyi melantunkan lagu yang sudah direquest sebelumnya. Lagu kemana, nada kemana. Ya sudahlah yang penting gayeng. Haha

Pukul 9.45 saya mengantar Endah ke kamar mandi untuk solat. Saya berada di luar, tapi entah kenapa saya mendengar suara seperti dia menjawab telepon padahal saya merasa di Srau tidak ada sinyal satupun bisa masuk ke ponsel kami. Endah keluar dengan tergesa gesa. Dengan ketakutan dia bertanya apakah ada orang yang memanggil kami karena ia merasa seseorang dengan suara lantang menyuruh kami keluar. Kemudian kami segera melupakan kejadian itu. Tidak baik untuk memikirkannya lama lama. Kembali ke api unggun, kami bergabung ke dalam kerumunan.

Saya menarik diri, duduk di jalan raya. Kemudian merebahkan diri memandang bintang bintang yang cantik. Bintang begitu banyaknya. Bahkan saya bisa melihat waluku diantaranya. Cahayanya begitu menenangkan. Saya jadi teringat masa kecil. Beberapa teman tiduran juga di dekat saya. Kami menikmati momen momen tenang dimana kami mempunyai masa masa liburan yang menyenangkan karena kami jarang mendapatkan liburan.

Angkasa Raya

Kita Menunjuk Angkasa Raya

Pukul 12 malam, kami bersiap untuk tertidur. Tenda awalnya hanya untuk perempuan akan tetapi ternyata beberapa anak bisa masuk dan tertidur di dalamnya. Ada tiga anak yang tidur di luar karena tenda tidak memadai untuk semua bisa masuk. Nur, Husein dan satunya saya lupa. Angin berhembus dengan kencang, tapi semua orang tertidur dengan lelap. Saya bahagia.

Paginya, kami sebenarnya sudah sepakat untuk bangun pukul empat pagi, tapi apa daya kami terlalu lelah jadi kami baru bisa bangun satu jam kemudian. Dalam pagi yang tenang, saya cuci muka dan menggosok gigi dan lari ke pantai. Saya ingin merasakan ombak pagi ini. Air yang dingin, seburan ombak membasahi kaki. Saya kembali ke pasir sebelah atas. Saya memandang langit. Saya mengenang masa masa dimana saya akan melangkahkan kaki ke rerumputan basah di bukit dimana saya bisa memandang sunrise di pagi hari. Kali ini saya ingin merasakan momen itu lagi. Langit bermega, merah seolah senja dan perlahan mentari menampakkan dirinya. Deburan ombak, dinginnya pagi dan angin yang berhembus perlahan menambah khidmat pagi agung ini.

Pukul 7, Ratna mengingatkan tentang surat yang kami buat. Saya buru buru mengambil kertas dan menuliskan apa yang harus saya tulis. Sementara lainnya selesai, saya masih rempong dengan urusan saya sendiri.

Pukul 07.30, kami bersiap untuk packing. Sialnya sunlight yang semalam ada di sekitar sumur tiba tiba menghilang. Ungkin ada penduduk setempat yang mengambilnya tanpa kita tahu. Kami terpaksa harus membersihkan hanya dengan air kemudian dilap dengan tisu. Wajan yang masih penuh dengan minyak harus dibersihkan di dalam pasir untuk menghilangkan minyak yang menempel.

Pagi itu Sugeng terluka karena karang. Ni anak tuh ngapain sih main main sama karang. Lukanya harus segera diobati agar tidak infeksi. Rizal selama perjalanan mabuk karena AC. Selama di dalam mobil ia seperti orang sakit tapi ketika lepas dari mobil ia segar ceria. Saya pun sebenarnya tidak sakit tapi gara gara beberapa hari yang lalu saya agak sakit, sebenarnya sudah agak sembuh. Tetapi karena panas matahari yang begitu menyengat ditambah ternyata konsumsi air putih yang tidak cukup untuk mendinginkan badan membuat saya kena heatstruck. Nur kena bara api tapi dia menolak untuk diobati. Priyok kena duri. Liana badannya panas, dia masuk angin. Dari sakit yang kami alami, saya bersyukur karena sakit kami hanyalah sakit biasa. Untung bukan sakit yang fatal atau kecelakaan yang benar benar parah.

Semua barang sudah siap di dalam mobil. Sebelum kami pulang, kami melakukan prosesi terakhir yang akan membuat kami bertemu lagi setidaknya lima tahun lagi. Kami menguburkan surat yang telah kami buat ke dalam jar kecil disertai dengan harapan dan doa. Saya pandangi semua wajah teman teman saya. Saya tidak bisa membayangkan betapa saya akan begitu bahagia bertemu dengan mereka lagi dalam sebuah momen : membuka kotak harapan. Lima tahun lagi. Kotak harapan itulah harta karun kami. harta karun berupa impian yang akan terus kami jaga agar tetap menyala hingga Tuhan memberikannya. Dalam hari ada doa agar kami semua menjadi orang orang sukses di bidangnya masing masing. Dan kami akan bertemu dalam suasana yang riuh, mengenang masa muda yang benar benar berisik dan gila. Lima tahun lagi, di tempat ini, kami akan bertemu.

Kami bertolak pulang pukul 9 pagi. Saya lambaikan tangan dan memandang untuk terakhir kalinya ke tempat ini. Saya tersenyum, dan lagi lagi ada doa yang terucap di dalam hati bahwa persahabatan kami akan terjalin hingga kami tua, hingga ke akhirat. Dan impian semua orang akan didengar dan dikabulkan olehNya.

Kali ini Nur dan Sugeng masuk ke dalam mobil sedangkan Liana naik motor karena ia mabuk. Saya masih baik baik saja sampai setengah perjalanan. Sampai desa terakhir dimana setahun lalu kami berhenti dalam magrib untuk menunaikan ibadah magrib. Kami semua turun untuk makan. Sekitar setengah jam sebelum sampai sebenarnya saya merasa ingin muntah. Dan di desa itu, saya keluar untuk mencari kamar mandi di musola yang dulu pernah kami singgahi. Saya berusaha untuk memuntahkan isi perut tapi tidak bisa. Saya kembali lagi ke rumah makan. Beberapa anak menyuruh saya untuk makan tapi saya tidak mau. Saya tidak merasa lapar. Bahkan saya ingin memuntahkan sisa makanan dalam perut. Saya tidak ingin minum apapun kecuali air putih. Lima menit kemudian saya benar benar ingin muntah. Nur mengantarkan saya mencari mushola sekitar sana. Kemudian saya memaksakan diri untuk muntah dan hanya ada cairan pahit keluar dari perut saya. Sedih sekali tidak bisa muntah.

Kami masuk kembali ke dalam mobil. Kali ini Ratna yang ikut ke motor. Sedangkan Rizal akhirnya menggantikan Ratna. Saya yang tadinya di belakang, memilih untuk duduk di tengah untuk mengurangi mual. Sugeng dan Nur mengalah untuk duduk di belakang. Saya memijat tengkuk dengan freshcare. Panas cuy. Tapi masih mendingan daripada tidak sama sekali di treatmen. Saya sakit. Dan saya harus sembuh entah bagaimana caranya. Sampai saya merasa saya harus minum paracetamol. Karena ingat saya belum makan, maka saya mengambil sedikit snack dan memakannya. Tidak boleh minum obat sebelum ada makanan masuk ke lambung. Saya sedikit membaik.

Kami sampai di rumah Husein pada pukul 13.30. Saya merasa sedih melihat Husein dan Nur karena mereka harus mengembalikan mobil ke rentalan. Apalagi kami sedikit terjebak pada overtime. Ah, sudahlah lupakan soal overtime, bikin sedikit sebel aja. Mereka terjebak juga pada macet liburan. Mereka baru kembali sebelum magrib. Bahkan mereka sempat untuk membelikan kami makan malam. Mereka pulang dengan keadaan yang sangat lelah. Bahkan Husein sejak dari kemarin menyetir. Dia pengendara yang memacu kendaraan dengan kencang tapi tetap mengutamakan safety. Kece. Kami baru pulang pada isya. Sampai kosan, saya langsung tertidur. Capek setengah mati mana lagi saya masih belum fit.

Hari ini setahun yang lalu. Kami memulai perjalanan nekat dan tahun ini kami melakukan perjalanan lagi dengan pengalaman yang berbeda. Mari menutup hari dengan ucapan syukur pada Sang Hyang Widhi.