ki ageng pengging

Jaka Tingkir, Beragam Cerita

Setiap daerah di Indonesia, terutama di Pulau Jawa mempunyai cerita tertentu yang berhubungan dengan tokoh atau terjadinya suatu tempat. Jaka Tingkir merupakan contoh tokoh yang mempunyai banyak versi cerita.

Banyaknya cerita yang beredar di masyarakat menunjukkan bahwa orang orang tersebut dianggap sebagai tokoh yang memberikan pengaruh di masyarakat atau mempunyai hubungan dengan hal lain yang lebih penting. Sosok Jaka Tingkir, penguasa kerajaan Pajang masih dipuja oleh sebagian masyarakat karena sepak terjang yang beliau lakukan semasa hidupnya. Jaka Tingkir dianggap masyarakat sebagai tokoh besar karena kesaktiannya digunakan untuk hal hal yang baik seperti membantu menghentikan masalah di masyarakat atau memperhatikan kesejahteraan rakyatnya. Jaka Tingkir juga dihubungkan dengan kerajaan Demak serta Kota Gede Yogyakarta.

Jaka Tingkir merupakan seorang raja yang bertahta di kerajaan Pajang pada abad ke 16 hingga 17 Masehi. Masyarakat di Jawa Tengah dan Yogyakarta memercayai bahwa Jaka Tingkir merupakan seorang tokoh yang sakti. Hal ini dibuktikan dengan beragam cerita yang bisa kita temukan diberbagai daerah.

Raden Jaka Tingkir merupakan salah satu keturunan penguasa Majapahit. Ayahnya, Ki Ageng Pengging adalah putra dari Raja Brawijaya. Jaka Tingkir diasuh oleh bibinya yang bernama Nyi Ageng Tingkir ketika Ki Ageng Pengging meninggal dunia. Hijrahlah mereka dari Pengging ke Desa Tingkir di Salatiga.

Penamaan Jaka Tingkir sendiri mempunyai beberapa versi. Jaka Tingkir berarti anak laki laki dari Nyi Ageng Tingkir karena semenjak kematian orang tuanya, Nyi Ageng Tingkir lah yang mengasuh Jaka Tingkir. Akan tetapi, ada mitos yang menyatakan bahwa Jaka Tingkir bukan merupakan seorang laki laki namun bayi yang terlahir perempuan. Seorang pertapa sakti meletakkan kendi di alat kelaminnya dan tiba tiba bayi tersebut berubah menjadi laki laki. Maka dari itu nama lain Jaka Tingkir adalah Mas Karebet, yang berarti bagian dari kendi yang merupakan tempat keluarnya air.

Di Desa Tingkir terdapat sebuah sendang yang berair jernih dan bersih. Air tersebut sangat bermanfaat bagi penduduk sekitar. Akan tetapi pada suatu ketika, aliran air mengalir sangat deras dan tidak bisa dihentikan. Untuk menanggulangi hal tersebut, Jaka Tingkir memotong rambutnya kemudian menggunakannya untuk menyumbat sumber air. Dengan kesaktian Jaka Tingkir, Desa Tingkir tidak lagi mengalami banjir. Sendang Senjoyo hingga saat ini masih digunakan untuk keperluan sehari hari masyarakat sekitar sendang. Pada setiap malam Selasa Kliwon dan malam Jumat Kliwon, banyak orang dari penjuru daerah bertapa dengan tujuan harapan mereka tercapai. Kebanyakan orang yang mengunjungi Sendang Senjoyo mengaku keinginannya tercapai setelah bertapa di daerah yang dikenal angker tersebut.

Suatu ketika Mae (nenek saya dari pihak ibu) mendongengkan pada saya mengenai kisah Jaka Tingkir yang pergi ke Demak untuk mengikuti sayembara menjadi prajurit keraton Demak. Jaka Tingkir diterima mengabdi pada kerajaan namun ia harus terusir karena membunuh seseorang. Beberapa waktu kemudian, ketika Sultan Trenggono sedang berlibur, ada seekor kerbau yang mengamuk di alun-alun dan tidak ada seorang pun yang bisa menaklukan. Jaka Tingkir datang dan menghentikan kekacauan sehingga ia diterima lagi mengabdi pada keraton Demak. Konon kerbau tersebut mengamuk karena ada seseorang memasukkan tanah kuburan yang dimantrai ke dalam telinga kerbau dengan tujuan untuk mengacau daerah kerajaan Demak. Sebagian masyarakat mengatakan bahwa sebenarnya yang menjadi dalang dibalik kekacauan tersebut adalah Jaka Tingkir sendiri. Jaka Tingkir lah yang memasukkan tanah kuburan ke telinga kerbau yang mengakibatkan kerbau mengamuk. Hal tersebut menjadi semacam taktik yang digunakan tokoh untuk bisa mendapatkan kembali tempatnya di kerajaan Demak. Itu kata mitos.

Ketika pergi ke Demak untuk mengabdi, Jaka Tingkir menyeberangi sungai. Untuk menyeberang, ia dibantu oleh 40 buaya yang hidup di sungai. Buaya buaya itu adalah jelmaan dari 40 wanita cantik. Sehingga selain putri dariĀ  Sultan Trenggono yang menjadi permaisuri Jaka Tingkir, masyarakat memercayai bahwa ke empat puluh buaya tersebut adalah wanita wanita lain yang menjadi istri dari Jaka Tingkir.

Jaka Tingkir menjadi salah satu tokoh yang berpengaruh pada terbentuknya kota Yogyakarta. Keberadaan kota Yogyakarta diawali dengan perseteruan Aria Penangsang dengan kerajaan Demak. Aria Penangsang merupakan seorang adipati Jipang yang jahat, tamak dan ingin menghancurkan Demak. Demak merasa terancam dan menyuruh Jaka Tingkir untuk menyerang Aria Penangsang. Aria Penangsang merupakan salah seorang yang mempunyai kesaktian tinggi sehingga sangat sulit untuk dikalahkan sehingga Jaka Tingkir mengadakan sayembara bahwa siapa saja yang bisa mengalahkan Aria Penangsang akan diberi hadiah. Ki Penjawi dan Ki Ageng Pemanahan menyanggupi sayembara tersebut. Putra Ki Ageng Pemanahan yang masih muda, bernama Danang Sutawijaya (Panembahan Senopati) berhasil mengalahkan Aria Penangsang. Ki Ageng Pemanahan diberi hadiah sebidang tanah di daerah Mentaok, bekas kerajaan Mataram lama yang terletak di daerah selatan. Pada akhirnya hutan Mentaok tersebut berkembang menjadi daerah Kota Gede yang merupakan cikal bakal kota Yogyakarta.

Di akhir kehidupannya pun terdapat beberapa macam versi mengenaik kematiannya. Ada yang mengatakan bahwa beliau meninggal karena dibunuh Sutawijaya namun ada juga yang berkata bahwa beliau meninggal karena sakit. Entah mana yang benar saya belum mendapatkan kebenarannya. Keberadaan makamnya pun masih diragukan letaknya. Salah satu versi cerita mengatakan bahwa makam Jaka Tingkir berada di Makam Haji, Solo sedangkan dalam versi lain disebutkan bahwa Jaka Tingkir meninggal dan dimakamkan di Plupuh, Sragen, Jawa Tengah. Adapula yang mengatakan bahwa makamnya terdapat di daerah Butuh.

Mitos memang memberikan banyak warna dalam sebuah cerita di masyarakat. Warna warna itulah yang memberikan ragam kearifan lokal bangsa Indonesia.