karawitan

Senangnya Didongengin

Jeng jeng jeng.. Part II. Kali ini saya mau mendongengkan kembali dongeng dongeng yang saya dapatkan selama jadi akamsi (anak kampung sini) Planjan. Dongeng tak cuma asal usul terjadinya sesuatu. Tapi dongeng mengajarkan kearifan lokal, penglipur lara, bahkan sejarah. Dan.. rasanya senang sekali mendengarkan para tetua desa ini bercerita. Bak kakek yang mendongengi cucu cucunya untuk pengantar tidur..  Ah.. senangnya..

Bapak Soegiyono, bapak kepala desa kami tersayang, menceritakan mengenai asal usul Desa Sumber dan berbagai dongeng lainnya. Dari bapak ini, kami mendapatkan banyak sekali berita mengenai cerita cerita di daerah pesisir selatan Yogyakarta.

Legenda Desa Planjan

Legenda Desa Planjan. Dahulu ada dua orang kakak beradil yang tinggal di dekat hutan Gebang di daerah ngresik. Adiknya meminta untuk pulang akan tetapi kakaknya masih ingin untuk memetik cabai yang dikiranya masih merah padahal cabai yang ia kira adalah badan macan yang loreng loreng. Kemudian si kakak dibawa lari oleh harimau tersebut. Adiknya pulang ke desa dan melapor pada warga setempat. si gadis bercerita bahwa ia tidak dimangsa akan tetapi ia hanya dituntun oleh seorang laki laki yang mengajak untuk bertandang ke rumahnya. Disana ia disuguhi makanan akan tetapi gadis itu tidak memakannya. Warga melakukan pengejaran hingga ke sebuah bekas pohon besar dan akhirnya menemukan gadis tersebut. Macan dikepung dan lari kencang hingga ke sebuah batu bernama batu lawang. Disana harimau terkepung. Cerita selanjutnya tidak dilanjutkan. Akan tetapi daerah dimana harimau lari dan akhirnya terkepung dinamakan playune macan yang kemudian disebut Plancan dan lama kelamaan menjadi Planjan.

Pantai Baron dan Brawijaya

Dahulu kala, ada seseorang mengukup (mengambil dengan menggunakan kedua tangan yang ditangkupkan) dan jadilah seorang bayi. Maka dari itu pantai dimana seseorang mengambil air dinamakan Pantai Kukup. Bayi tersebut bermain main di daerah Baron, maka namanya disebut dengan Baron Sekeder. Suatu hari, bayi menanyakan siapa ayah, ibu dan saudara saudaranya. Dalam bahasa Jawa, saudara berarti kadang. Dalam terminologi bahasa Jawa, kadang diberikan imbuhan -em sehingga menjadi Kemadang. Nama tersebut menjadi nama Desa terdekat dengan wilayah Pantai Baron.

Daerah pesisir selatan Jawa dipercaya menjadi salah satu tempat bersejarah bagi tokoh tokoh legenda pulau Jawa. Di zaman keruntuhan Majapahit, Brawijaya dan putranya berseteru terkait persoalan kepercayaan. Brawijaya tidak mau menjadi seorang Muslim sedangkan anaknya ingin mengislamkan ayahnya tersebut. Brawijaya berlari menghindari putranya sampai ke pegunungan di Klaten dan sampai ke pesisir selatan pulau Jawa. Ia sampai di daerah Desa Gebang, daerah Baron. Pada jaman itu sudah ada perayaan rakyat yang dinamakan Rasulan. Warga menanggap wayang yang dilakukan semalam suntuk. Ketika penonton sudah berkumpul banyak, sayang sekali dhalang yang seharusnya memimpin pertunjukan tidak muncul. Brawijaya akhirnya mau menggantikan dhalang yang tidak datang tersebut. Di tengah tengah pertunjukan, ia merasakan bahwa kendhangan dari gamelan terasa berbeda dari yang telah ia rasakan setengah pertunjukan sebelumnya. Brawijaya menengok ke belakang dan kagetlah ia mendapati putranya telah ada di belakangnya menjadi pengendhag. Kemudian Brawijaya menghilang tiba tiba. Ia pergi ke Mojojerit kemudian ke Pantai Ngobaran. Di pantai tersebut ia bertapa di sebuah petilasan dan melakukan Pati Obong. Permaisurinya juga melakukan pati obong. Sedangkan seroang selirnya yang bernama Dewi Puyangan berjalan menyusuri pantai. Bekas tapak kakinya menjadi kayu Lohdrini. Sampai sekarang warga masih percaya bahwa wanita tidak boleh melangkahi kayu Lohdrini.

Cuma sampai disitu saja cerita tentang Brawijaya. No. Bapak yang kira kira usianya mencapai delapan puluh tahun itu melanjutkan ceritanya.

Ratu Brawijaya menyamar menjadi lurah di Sawojajar. Ia sengaja melakukan kesalahan sehingga dihukum gantung. Akan tetapi hanya tertinggal iket kepalanya saja. Ia menghilang dan menjadi seorang kaya raya di Semarang. Ia dikenal sangat kaya namun pelit. Raden Patah menyamar menjadi seorang pengemis yang mencari rumput di sekitar tanah milik Ki Gede Semarang. Cerita ini lebih mirip dengan Ki Ageng Pandanaran yang pada akhirnya pergi mengembara bersama istrinya karena sadar dengan kesalahannya. Di tengah jalan, Ki Gede Semarang dirampok oleh bandit yang sebenarnya adalah Raden Patah. Ia mengatakan bahwa hartanya dibawa oleh istrinya yang ada di belakangnya. Akan tetapi bandit tersebut tetap bersikeras meminta harta dari Ki Gede Semarang. Karena kesal, Ki Gede Semarang mengutuk bandit tersebut menjadi kambing. *ceritanya emang nggak konsisten di satu alur. Tapi tetap menyenangkan kok.

Legenda Desa sumber

Tersebutlah suami istri yang ingin memberikan warisan untuk anak cucu mereka. Si laki laki bernama Kyai Dono dan yang perempuan bernama Nyai Dono. Kyai Dono berniat membuat sumur sedangkan Nyai Dono membuat Telaga Ngomang. Sumur dan Telaga Ngomang tersebut merupakan mata air yang tidak pernah kering. Akan tetapi pada jaman penjajahan Jepang, seseorang yang ingin memperbaiki sumur tersebut tidak sengaja memutus sebuah akar yang sebenarnya merupakan jalan air dari sumur tersebut. Tidak disangka, orang itu meninggal dan air tidak lagi mengalir di sumur. Kondisi sumur tersebut sekarang tidak lagi bisa digunakan karena sudah tertimbun oleh tanah akibat erosi di area sumur.

Telaga Ngomang yang ada sampai sekarang masih menampung cukup banyak air dan masih bisa dimanfaatkan oleh banyak warga untuk berbagai kepentingan seperti memancing, mengairi pertanian, mencuci dan sebagainya. Warga juga sudah membuat area Telaga Ngomang bebas dari erosi dengan cara membuat tembok untuk menahan agar tanah di sekeliling Telaga Ngomang tidak mudah erosi. Nampaknya keberadaan Telaga Ngomang ini selain memnuhi kebutuhan air bagi pertanian dan urusan rumah tangga, juga menjadikan lapangan pekerjaan bagi warga setempat. Beberapa warga membuka jasa warung makan yang melayani kebutuhan makan siang bagi warga yang memancing di Telaga Ngomang

Dukun beranak

Hari ini kami mengunjungi seorang dukun bayi bernama mbah noto yang tinggal di RT 3 Dusun Sumber. Beliau sudah menjadi dukun desa selama puluhan tahun. Akan tetapi semenjak tahun 2012, Pemerintah melarang adanya proses kelahiran oleh dukun beranak namun harus dirujuk langsung ke bidan atau puskesmas. Dukun beranak hanya akan membantu proses pasca persalinan seperti memandikan, memijat atau mengubur ari ari. Hal ini masih dilakukan oleh banyak warga desa Planjan. Mbah noto masih sering dimintai tolong untuk mengurus bayi.

Oleh karena perkembangan jaman, warga sudah tidak lagi menggunakan ritual ritual khusus seperti yang dilakukan orang pada jaman dahulu seperti mitoni, dan lain lain. Akan tetapi masih ada satu dua orang yang melakukan ritus tertentu seperti penguburan ari ari setelah bayi lahir. Pada prosesi penguburan ari ari, ari ari yang sudah dicuci bersih dimasukkan ke dalam belanga kecil yang disertai dengan berbagai benda. Di desa ini, biasanya warga meletakkan uang recehan sebagai symbol kemakmuran si anak kelak dan buku serta pensil agar si anak bisa menjadi anak yang cerdas.

Penggunaan dina bengle juga sudah jarang dilaksanakan. Saya membandingkan penggunaan dina bengle disini dan di daerah rumah saya. Jika di daerah rumah saya, orang tua biasanya menggunakan kunyit, temu putih yang dirangkai dengan benang kemudian digelangkan pada bayi, orang tua di daerah ini menggunakan tulang ikan laut yang disebut balung butanaga. Kepercayaan dengan penggunaan benda yang berbeda ini dilakukan untuk melindungi bayi dari hal hal yang tidak diinginkan serta penangkal kekuatan jahat.

Karawitan

Kami bertiga berjalan jalan ke Desa Planjan. Disana kami bertemu dengan Mbah Harso yang merupakan dhalang di daerah Planjan. Beliau adalah salah satu punggawa dalam pelestarian kebudayaan jawa. Bersama sama warga desa lainnya, beliau masih sering melakukan latihan karawitan di Desa Planjan. Rata rata pemain gamelan berusia lanjut. Tidak banyak warga yang masih muda mau merawat kebudayaan ini karena mereka lebih menyukai kebudayaan modern. Latihan gamelan dibagi menjadi dua, untuk wanita dan laki laki. Latihan untuk wanita dilaksanakan pada hari kamis sore sedangkan untuk laki laki setiap malam Minggu atau malam Senin setiap minggunya dimulai pada pukul 9 malam.

Mbah Harso bercerita bahwa setiap melakukan pertunjukan wayang, selalu diadakan pemberian sesajian di area pertunjukan. Sesajian itu antara lain nasi uduk, ingkung, jajanan pasar, buah dan kancing (uang receh), sisir serta cermin. Berbagai sesajian itu diberikan untuk penghormatan pada mahluk mahluk yang tak kasat mata yang diyakini sama sama hidup di sekitar kita. Dalam pewayangan ada tokoh yang selalu ditutup dengan kain mori dan biasanya tokoh tersebut adalah Arjuna. Tujuan dari penutupan dengan menggunakan kain mori adalah untuk menghormati tokoh tersebut karena dalam proses pembuatan wayang adakalanya menggunakan ritual tertentu yang mengundang mahluk halus untuk mengisi wayang tersebut.

Sebagai rumah tempat tinggal wayang, pemilik wayang untuk memberi makan dan meruwat di hari hari tertentu. Untuk merawat gamelan juga diberikan sesajikan. Sesajian tersebut diberikan setiap selapanan menurut waktu pertama kali membeli. Terdapat hari hari tertentu yang dimaksudkan untuk memberi sesaji yaitu hari Jumat legi dan Jumat kliwon yakni dengan memberikan kemenyan di dekat gong. Akan tetapi tidak semua jenis gamelan diberikan perlakuan yang spesial. Ada gamelan jenis tertentu, biasanya dibuat dari perunggu murni dan yang usianya sudah tua akan diberikan sesajian khusus di hari hari tertentu. Masih menurut penuturan Mbah Harso, pada jaman dahulu dalam pembuatan gamelan, wayang ataupun gending, si pembuat akan melakukan pati geni dan melakukan ritual untuk membuat apa yang mereka buat memiliki kualitas tinggi.

Labuhan

Di daerah Baron terdapat tradisi labuhan, yaitu ritual memberikan sesaji pada penguasa Laut Selatan sebagai simbol menghargai dunia lain yang hidup sejajar dengan hidup manusia.

Labuhan terdiri dari dua jenis. Ada labuhan satu sura dan labuhan umum. Labuhan satu sura dilaksanakan pada awal bulan Muharam, sehingga mengikuti sistem penanggalan Jawa dan bukan penanggalan Gregorian (masehi). Biasanya untuk melaksanakan labuhan, warga akan mempersiapkan berbagai macam sesajen berupa ingkung, nasi uduk, jajan pasar, sisir, cermin, kancing dan satu ekor kerbau yang pada akhirnya akan disembelih dan kepalanya akan dilarung dengan menggunakan perahu di tengah laut selatan. Sedangkan labuhan umum adalah labuhan yang bisa dilaksanakan sewaktu waktu oleh warga, disebut juga Nyadran. Biasanya sebelum diadakan Rasulan/Sangan (bersih desa), warga akan melakukan labuhan. Meskipun mereka biasanya sudah memiliki waktu biasa untuk melakukan labuhan yakni untuk Desa Minggu Pahing  dan Senen Pon.

Dalam melaksanakan labuhan, tetua desa akan memilih waktu jauh jauh hari sebelum bulan Muharam datang. Mereka akan menggunakan penanggalan jawa yang dipadukan dengan wuku. Jika tidak dipilih wuku yang baik wuku dan gumreg agar kegiatan berjalan lancar. Hal itu dilakukan untuk memenghindari hal hal yang tidak baik jika tidak memilih hari baik tersebut. Rasulan hanya dilaksanakan satu kali selama satu tahun dan biasanya harinya berbeda beda untuk setiap desa. Planjan menggunakan hari Minggu Pahing. Alangsari juga Minggu Pahing. Sumber, Tritis, Ngepoh, Jambu, Karang dan Sengerang melakukan bersih desa pada senin kliwon.

Selama melakukan ritual, mereka akan menggunakan pakaian mataraman. Upacara yang dilaksanakan adalah mempersiapkan nasi uduk dan ingkung ayam dan sesaji antara lain tumpeng dirangkai dengan pisang raja, jajanan pasar didoakan oleh tetua desa dan dimakan bersama sama. Ada sebuah pohon besar di sudut desa dan diberikan sesajian oleh para warga. Orang yang memiliki keinginan yang terkabul biasanya akan memberikan sesajinya di tempat tersebut.

Pohon besar itu diberikan sekotak kayu yang terdapat bokor yang terbuat dari daun pohon kelapa dan diisi dengan segala sesuatu yang telah dipersiapkan pada saat upacara rasulan. Tak hanya pohon besar dan sudut desa. Sumur dan telaga pun tak luput dari sesajen. Tujuan dari ritual ini adalah untuk memanjatkan rasa syukur terhadap Pencipta atas kehidupan yang telah dilalui selama satu tahun.

Selain adanya sesajian dan makan bersama, warga juga membuat gunungan yang berbentuk rumah, hewan, dan bermacam macam bentuk lainnya terserah oleh warga yang membuat. Hiburan yang diberikan antara lain kesenian jathilan, doger (warok ponorogo), reog klasik, drumband, karawitan, campursari, wayangan yang dilaksanakan pada malam selasa.

Oh ya, selain labuhan, ada juga gumregan dan sedekah sasi. Gumregan adalah kegiatan untuk mensyukuri karena sudah memiliki ternak. Sesajen yang diberikan adalah jadah, dengan kacang panjang, bumbu dapur, gembili, uwi, ketela, kimpul, pulo dengan gula jawa dan ketupat. Ternak ternak itu diberi sesajen. Yah, walaupun pada akhirnya yang makan sajennya itu ya masyarakat sendiri. Sedekah Sasi dilakukan untuk menghormati ‘bulan’ yang dilakukan dengan sesajian berbeda di setiap bulannya. Setiap bulan sura diberikan sesajian seperti jenang grawul, rempah, nasi dengan lauk diatasnya. Kalau Ruwahan, masyarakat memberikan ambengan. Nasi dimasukan piring, diatasnya ada lauknya. Kalau Besaran, semua orang membuat tumpengan. Beraneka ragam.

Dongeng lainnya

Pucung berasal dari kata pepucuking peperangan karena pada jaman dahulu daerah tersebut dijadikan arena perang. Sedangkan Kemadang berarti ujung pangkal peperangan. Kanigoro berasal dari legenda bahwa Makam Kedungmiri adalah makam dari Brawijaya atau Eyang Ontrokusuma yang sebenarnya tidak mati akan tetapi hanya meninggalkan iket dan tongkatnya saja di tempat tersebut. *walaupun saya agak gagal paham dengan makna kata Kanigoro, cerita ini buat saya menarik. Warga setempat masih menghormati leluhur leluhur mereka yang menjadi pendiri desa atau yang menjadikan asal usul desa tersebut. Ternyata hormat pada orang tua adalah ajaran yang long lasting.

Dahulu kala ada anak bernama Jaka Umbaran yang akhirnya dari namanya tersebut nama Baron bermula (sudah saya paparkan di awal postingan ini). Ketika ia besar, ia pergi gua Tritis kemudian menuju daerah Bamban dan Singkil yang berarti hatinya sedang sedih. Maka, kedua desa itu dinamakan Desa Bamban dan Desa Singkil. Kemudian ia berjalan ke Pule Bener yang berarti sudah simpul pikirannya bahwa ia kana mencari Dewi Lembayung. Ia pergi ke daerah Giring untuk bertemu dengan sang dewi akan tapi ia keduluan oleh adiknya, Ki Pemanahan. Kisah ini sedikit dibelokkan untuk faktor kesopanan. Jaka Umbaran mencari krambil gagak untuk meminum airnya akan tetapi air kelapa sudah terlebih dahulu diminum oleh Pemanahan. Oleh karena ia kesal, ia pergi ke Kali Gowang untuk mendinginkan hati. Gowang sendiri bermakna pikiran yang kecewa. Sebenarnya yang terjadi adalah Ki Pemanahan sudah terlanjur bersetubuh dengan Dewi Lembayung. Degan bermakna adeg adegan, berhubungan seksual dengan cara berdiri. Hal ini sebenarnya menyiratkan adanya perebutan kekuasaan untuk menurunkan keturunan raja raja Jawa yang diakhiri dengan Ki Pemanahan yang akan menurunkan raja raja Jawa. Agar tidak terlalu vulgar, orang Jawa membelokkan cerita tersebut menjadi sebuah kisah lain yang jauh kesan saru.

Kali gowang sendiri ada di daerah Alas Sumurup yang berarti air yang menghilang ke bumi. Akan tetapi Kali Gowang akan muncul kembali di Pantai Baron. Di Pantai Baron terdapat dua buah sungai, di sisi timur terdapat hilir sungai Oyo sedangkan di sebelah barat terdapat Sungai Giring atau biasa disebut Sungai Gowang. Diceritakan bahwa ada dua nabi yakni Nabi Nuh dan Nabi Siti Jenar (mungkin diksi yang tepat adalah wali. Tapi Mbah Sugiyono menyebutnya nabi. Ya, namanya orang jaman dulu) yang berdebat mengenai hilir dari Kali Oyo. Salah satu orang merasa sungai Oyo harusnya berakhir di daerah  Mancingan. Salah satu orang mengambil merang (batang padi yang menguning) dan kemudian merang tersebut diterbangkan oleh angin. Mereka pun berjalan sampai di pantai selatan dan menemukan bahwa merang tersebut ada di Pantai Baron padahal tadinya mereka mengira di daerah Mancingan.

Misteri Gunung Merapi

Pada jaman dahulu terdapat delapan mpu yang mampu menghasilkan keris keris terbaik pada jamannya. Mereka tinggal di tengah tengah Pulau Jawa. Suatu hari diadalan gotong royong gugur gunung (istilah setempat untuk gotong royong). Akan tetapi ada satu Mpu yang tidak mau melakukan gugur gunung bersama sama lainnya. Gunung api Jamur Dipa kemudian ditumbukkan ke rumah perapian mpu mpu tersebut. Itulah legenda mengapa gunung merapi selalu menghembuskan asap, karena dulunya, gunung tersebut berada di atas rumah perapian pembuat senjata. Gunung yang ada di belakang Merapi, Merbabu juga memiliki legendanya sendiri. Merbabu merupakan anak dari gunung Merapi dimana Punakawan tinggal. *tapi di legenda di daerah Merbabu (saya tinggal di daerah Merbabu), Gunung Merbabu itu Kakaknya si Merapi. Nah, di tengah tengah Merbabu dan Merapi terdapat Gunung Bibi. Gunung Merapi tidak akan pernah ‘melangkahi’ bibinya untuk menyakiti kakaknya. Itulah mengapa asap, abu atau awan vulkanik Merapi tidak akan pernah ‘menyakiti’ Merbabu. Apakah karena legenda itu? Uhm.. who knows. Wallahualam. Yang jelas Tuhan sudah menciptakan mekanisme alam jauh sebelum bumi ini tercipta bukan?

Legenda Baruklinting

Selain cerita terbaru mengenai legenda Gunung Merapi, saya pun menemukan ada cerita lain tentang Baruklinting (legenda ular naga pembuat danau di daerah saya di Tuntang). Pada suatu hari, Syekh Mangkuribi (kalau di tempat saya namanya Baruklinting) mencari ayahnya. Akan tetapi ketika sudah bertemu, ayahnya mengajukan sebuah syarat. Ia hanya akan mengakui bahwa Mangkuribi adalah putranya jika anak tersebut berhasil melingkari gunung merapi tanpa terputus. Hanya kurang satu jengkal lagi ketika ia mampu menutup seluruh gunung dengan tubuhnya, ia tidak kekurangan akal. Ia julurkan lidahnya hingga menyentuk ekor. Ketika hal itu terjadi, lidahnya dipotong oleh ayahnya. Kepala naga tersebut menjadi hulu sungai Bengawan Solo, badan naga menjadi kali Opak dan ekornya menjadi sungai sungai kecil yang mengalir di bawah gunung tersebut.

Kalau di cerita daerah saya sih, lidah yang dipotong sama ayahnya jadi tombak naga yang sakti dan tubuh si naga membatu dan ditumbuhi pepohonan. Sampai suatu ketika warga desa yang paceklik tidak sengaja melukai ‘tubuh’ si naga dan mereka pun memotong motong daging yang awalnya mereka pikir hanya kayu biasa. Sampai akhirnya mereka berpesta dan tidak memedulikan satu anak kudisan yang minta makan. Akhirnya si anak mengadakan sayembara mencabut lidi yang ditancapkan di alun alun desa. Tak ada satupun orang di desa yang bisa mencabut lidi itu. Dan si anak mencabut lidi, munculah mata air dan hujan deras yang kemudian membanjiri seluruh desa yang kemudian dinamakan Rawa Pening (Danau Pening). (kemungkinan desa yang tenggelam itu dulunya dinamakan Desa Pening). Hanya satu orang yang selamat pada peristiwa tersebut. Orang itu adalah seorang nenek tua yang berbaik hati memberi makan si anak. Nenek itu diperingatkan untuk menaiki alu penumbuk padinya dan menggunakan centong nasi sebagai dayung jika hujan lebat turun.

waaaaa… panjang juga ternyata dongengnya. Haha. Mungkin kalau didongengkan sebelum tidur, bisa sampai pagi saya dengernya. Tapi dongeng dongeng yang nampaknya nggak masuk akal yang bikin “apa iya sih kayak gitu? itu nyata? ah nggak mungkin”, adalah hal yang menyenangkan untuk didengar dan direnungkan. Renungkan bahwa nenek moyang kita adalah pencerita yang luar biasa. Kalau kita cuma mikirin hal hal real di depan mata, dengan kesibukan duniawi yang bikin pikiran remuk, tanpa ada hiburan kayak dongeng, nggak kebayang gimana ancurnya. Hal pantasi (istilah nenek saya. Haha) seperti itu adalah penyegar jiwa, penghilang kepenatan. Dan.. saya bahagia jadi anak Indonesia. 😀