hutan gorontalo

Secangkir Cinta di Gorontalo #6

Potret Pendidikan

Mengajar di salah satu sekolah dasar di sebuah desa terpencil merupakan pengalaman yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Berawal dari Kuliah Kerja Nyata UGM, saya ditempatkan di Desa Sukamakmur, Bolango Ulu, Kecamatan Bone Bolango, Gorontalo.

Kalau boleh menilai, bangunan sekolah SD N V Satap Bolango Ulu sudah sangat baik. Bahkan tersedia Perpustakaan dengan buku penunjang yang sudah cukup baik. Bangunan sekolah dasar yang berdampingan dengan SMP N 3 Satap terbuat dari batu bata cor yang dicat dengan baik. Lantainya pun sudah memakai ubin. Papan tulis meskipun masih menggunakan kapur, sudah cukup memberikan tempat untuk menulis. Pot pot tanaman diletakkan di depan tertata dengan sangat rapi. Meja, kursi sudah cukup mengakomodasi anak anak dari dua desa yakni Sukamakmur dan Pilolaheya.

IMG_3870

Anak-anak dan ibu gurunya

Permasalahan mendasar yang dimiliki oleh kedua sekolah ini adalah kurangnya sumber daya guru untuk mengajar di sekolah tersebut. Hanya ada sekian guru yang sangat jauh dari cukup untuk mengakomodasi kebutuhan guru di SD dan SMP. Sehingga kami, anak anak KKN akan membantu mengajar di kedua sekolah tersebut pada pagi hari apabila kami tidak ada kegiatan di desa. Sungguh memprihatinkan karena kekurangan tenaga pengajar, anak anak kurang mendapatkan haknya belajar. Masih banyak anak yang belum bisa berhitung dengan benar. Akan tetapi semangat mereka untuk belajar begitu besar. Masih segar di ingatan saya, setiap pagi, pada jam sekolah, mereka akan mampir ke pondokan kami untuk mengajak kami segera ke sekolah. Saya yang seringkali tidak mandi, segera berganti pakaian dan menuju sekolah untuk mengajar. Sungguh saya selalu bersemangat untuk masuk ke dalam kelas mereka.

Pada hari senin, saya memperhatikan bahwa anak anak tidak pernah upacara. Maka, di senin berikutnya saya mencoba untuk mendisiplinkan anak anak dengan mengadakan pacara bendera seperti halnya yang sering saya lakukan ketika masih sekolah. Dan.. saya adalah pembina upacara. *shock*. Gelagepan sih mau bilang apa waktu itu ke adek adek kecil tersebut. Tapi kemudian dengan cepat saya menguasai diri lagi dan menginformasikan bahwa kami adalah anak anak KKN yang akan belajar bersama mereka kurang lebih selama kami tinggal di desa mereka. Saya segera menginstruksikan mereka agar masuk ke dalam kelas dengan tertib dan duduk mendengarkan dengan baik kakak kakak yang mengajar mereka. Ceramah dari pembina yang sangat singkat. *gimana nggak singkat, orang udah jam 8 dan panas banget. Haha*. Kami segera menyelesaikan upacara dan masuk ke kelas masing masing.

Di kelas, suasana sangat ramai. Ya, biasalah, tipikal anak sekolah dasar yang masih suka ribut. Diantara semua kelas, saya paling suka dengan anak kelas 2. Mereka antusias tinggi untuk menyimak pelajaran. Apalagi kalau disuruh bernyanyi. “tuk tik tak tik tuk tik tak tik tuk suara sepatu kuda”. Ketika ada anak ribut, si ketua kelas akan berusaha menenangkan teman temannya dan seluruh kelas mendengarkan anak ini. Hmm.. tipikal calon leader.

IMG_3838

Mari mendengarkan, anak anak

Lain dengan kelas empat yang nggak ngerti kenapa seneng banget kalau saya ndongeng. Apalagi Perlin. Duh.. saya sampai ditarik tarik suruh nyeritain dongeng lagi dan lagi. Memang, kekuatan dongeng sangat besar. Saya yang sudah sebesar ini masih suka mendengarkan jika ada orang yang mendongeng.

Kelas lima tipikal agak bandel. Mereka ada di stage yang paling sulit, sekaligus paling pemberontak. Susah dibilangin kalau saya bilang. Kelas enam, ini anaknya ceriwis semua, rata rata cewek dan ceweknya pualing berisik diantara semua kelas di sekolah dasar. Ini calon ibu ibu rumpi. Sumpah. Dibilangin sulitnya minta ampun. Ketika saya baru saja memberitahu bahwa mereka harus tenang, eh, dua cewek cewek di pojokan sana malah ngerumpi. Mereka baru aja dikasih tahu, dua yang di depan rebutan buku. Saya sampai terpaksa harus tegas. Ketika kondisi sulit, saya akan mengambil alih kelas dan membuat perjanjian agar mereka tetap mendengarkan saya hingga kelas berakhir.

Mungkin satu hal yang membuat mereka jengkel dengan saya: saya tidak akan memotong jam kelas dan akan menghabiskan jam yang ada hingga akhir. Sampai banyak siswa yang berteriak ingin pulang. Kebiasaan mereka, karena jumlah guru yang kurang, mereka menjadi tidak disiplin. Sangat mudah untuk menemukan siswa membolos atau pulang lebih cepat tanpa kontrol. Kalau sudah begitu saya akan mengunci pintu atau bercerita kepada mereka tentang sekolah saya dulu. “saya dulu sekolah bayar sangat mahal. Kalian sekolah gratis masak mau pulang lebih cepat. Sayang sekali pada uang saku yang sudah orang tua kalian berikan jika kalian tidak pulang tepat waktu. Yuk, karena belum jam pulang sekolah, jangan pulang dulu”. Perkataan saya dibalas dengan seruan huuuuuu atau tatapan kecewa dari anak anak kecil. Haha. Saya memang terkenal tidak akan memulangkan mereka lebih awal.

Tapi, ada juga kelas yang bahkan menahan saya untuk tidak pulang. Nah lho.. ini malah saya nggak boleh pulang. “Ta Putri jangan pulang dulu. Ini saya masih mau belajar.”. Saya ingat waktu itu saya mengajarkan penambahan susun di kelas empat. Setiap anak wajib maju karena saya pikir setiap orang harus mendapatkan kesempatan untuk bisa. Saya menerapkan metode Bu Zuli, satu satunya guru matematika favorit saya yang muncul di tahun terakhir saya di SMA. Beliau mengubah perspektif saya mengenai matematika. Selama ini saya sangat tidak menyukai matematika karena faktor guru yang samasekali tidak menarik. Matematika selalu identik dengan soal nggak enak dan guru yang lebih nggak enak. Tapi Bu Zuli, beliau adalah orang pertama yang membuat saya mau untuk susah susah mengerjakan soal yang menyebalkan itu. “pilih aja soal yang kalian suka. Salah bukan masalah. Nanti kita benarkan bersama. Berani maju dulu.”. justru kata kata penyemangat itu memberikan saya keberanian lebih dari sebelumnya. Saya tidak pernah menyukai soal matematika karena saya tahu saya akan disalahkan jika apa yang saya kerjakan salah. Mindset itu bermula dari sekolah dasar. Tapi semua berubah di tahun terakhir saya di SMA. Saya merasa gela, kecewa, mengapa guru seperti Bu Zuli harus muncul di tahun terakhir saya berkutat dengan soal nggak enak macam seperti itu. Kenapa nggak sedari sekolah dasar saja. Berkaca dari pengalaman saya yang begitu membekas, saya membuat soal spesial untuk setiap anak di kelas dan mewajibkan mereka untuk maju mencoba. “bukan salah atau benarnya yang Ta Putri mau. Tapi keberanian kalian untuk mencoba. Yuk, berani dulu dek..”. Awalnya hanya satu dua orang yang mau mau. Setelah dibujuk dan terbukti bahwa saya tidak menyalahkan mereka, bahkan bersedia mengajari mereka, akhirnya semua mau mencoba. “Yuk, kalau salah nanti dibenarkan bersama. Kita sama sama belajar. Pokoknya jangan takut salah, yang penting berani dulu”. Satu persatu anak maju mencoba. Sebagian dari mereka salah dan malah tertantang untuk diberi soal lagi untuk memperbaiki kesalahan mereka. Jika tadinya mereka malas untuk mencoba malah jadi ketagihan. Bahkan waktu itu Mbak Aida dan kawan kawan saya lainnya sudah pulang. Tinggalah saya sendirian mengajar kelas empat yang sebagian siswanya masih merengek untuk diberi soal. “sudah, besok lagi ya. Kalian mau pulang jam berapa dek. Ayo pulang dulu, nanti dicari orang tua kalian”. Satu persatu anak akhirnya pulang dan saya pulang ke rumah.

IMG_3855

Tidak hanya melulu belajar dari buku. Olah kecermatan juga bisa dilatih dari permainan sederhana

Cerita lain mengenai pendidikan disini adalah saya berasa de javu sedang menonton film bertema pendidikan. Suatu ketika, saya menonton film Ringgo Agus Rahman yang entah judulnya apa. Di film itu, Ringgo sedang menjelaskan mengenai kepulauan Indonesia dan tidak ada satupun anak yang tahu mereka tinggal di pulau apa. Nah, ini yang saya alami serupa tapi tak sama, tapi ya mirip. Nah lho.. haha. Dek, ada yang bisa menjelaskan apa saja pulau besar di Indonesia? Ada yang bisa menggambarkan? Ada yang bisa menyebutkan kita tinggal di pulau apa? Ada yang bisa menunjukkan dimana kota Gorontalo di peta yang sudah kakak gambar di papan tulis?. Sungguh pertanyaan pertanyaan mendasar yang bahkan anak kelas tiga SD di sekolah dasar saya dulu, kami sudah harus hafal di luar kepala. Tapi ini, anak kelas enam yang katakanlah tinggal setengah tahun lagi masa sekolahnya habis masih belum tahu kepulauan Indonesia. Miris. Dan rasanya waktu itu emang kayak de javu. Apa sekacau ini pendidikan di pelosok Indonesia. Kelas saya lanjutkan dengan membuat peta kepulauan Indonesia dan berbagi pengetahuan mengenai kota besar di Indonesia. Saya menceritakan pengalaman saya terbang dari Jawa ke Sulawesi hingga perjuangan agar bisa menemui mereka. Menjelaskan bahwa ada ratusan kepulauan yang hanya bisa dijangkau dengan pesawat udara dan untuk sampai menemui mereka, saya harus naik pesawat selama beberapa jam dan menempuh jarak ribuan kilometer. Saya membawa laptop dan membuka file foto pesawat dan foto udara yang sempat saya jepret selama perjalanan udara dari Bandara Juanda ke Bandara Jalaludin. Saya ingin membagi pengalaman pada mereka bahwa tahu dunia luar sangat penting untuk mereka. Semoga mereka terinspirasi untuk belajar lebih giat.

IMG_3843

Sekelompok masa depan Sukamakmur-Pilolaheya

Tidak hanya belajar di kelas, belajar di pondokan juga menjadi rutinitas kami di KKN. Ada satu dua anak yang masih datang untuk bermain dan mengajak kami belajar. Terkadang anak anak ingin belajar matematika lagi. Maka saya dan teman teman memfasilitasi untuk belajar tambahan itu di rumah.

Oleh karena background saya bahasa Inggris, saya harusnya menguasai betul bahasa asing ini. Akan tetapi saya hampir tidak menggunakan kemampuan saya ini untuk diajarkan pada adik adik. Belajar bahasa Indonesia yang baik dan benar saja masih belepotan. Kemampuan bahasa asing hampir dipengaruhi cara kita memahami konteks bacaan. Kasusnya, di Indonesia, pemahaman bahasa asing merupakan inversi dari bahasa melayu (Indonesia) dan bahasa Inggris itu sendiri. Sangat jarang hubungan antara bahasa daerah dengan bahasa Inggris. Hal ini karena pengajar pengajar kita rata rata akan mengajarkan lewat bahasa Indonesia, bukan bahasa daerah masing masing. Nah, hampir semua anak di desa ini pemahaman berbahasa Indonesia yang baik dan benar masih sangat kurang sehingga butuh dua kali ekstra pemahaman bahasa asing. Padahal diktat diktat yang ada menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa penjelas, bukan bahasa daerah masing masing. Jadi disana, saya sangat jarang mengajar bahasa Inggris. Saya malah lebih banyak mengajarkan matematika dasar dan bahasa Indonesia dasar. Tapi, ada dua anak yang sangat antusias belajar bahasa Inggris bernama Panti dan Rizal. Dua anak SMP 3 ini saya ceritakan pada halaman lain.

Pendidikan adalah kunci utama meraih masa depan, tidak lain tidak bukan. Ia adalah partner dari doa. Saya sangat beruntung bisa mendapatkan pendidikan yang katakanlah ‘sempurna’ sejak saya masih kecil hingga sekarang. Berbagi dengan adik adik di SD dan SMP Bolango Ulu sangat membuat saya berpikir bahwa pendidikan adalah hal utama, yang harus kita kejar selamanya.