Di hari terakhirku di tempat itu, aku masih terjaga hingga bulan menuju ufuk barat. Si tikus kecil duduk di hadapanku menemaniku mengobrol. Dalam gesture-nya yang panik, ia duduk dengan tidak tenang. Beberapa kali ia hembuskan nafas berat dan percakapan yang tak beraturan arahnya.
Ia buka laci dan mengambil stipo. Ia warnai kukunya. Aku tak memperbolehkan. Ia kembalikan dan ia buka lagi laci, mengambil pemotong kuku. Ia potongi kukunya yang hitam -hitam sembari menceramahiku tentang perlakuan kucing lain yang selalu galak padanya. Jika ada kucing besar melihat kukunya tak dipotong, maka kucing itu akan mengambil gunting dan memotong kuku-kuku tikus hingga sangat pendek.
Sekelebat, dalam langkah kecil paniknya, ia menutup pintu kamar dan naik ke dipan. Aku bergeming. Sedetik kemudian kubuka laci dan menemukan sekepeng uang telah raib. Seketika aku mengejarnya hingga ke kamar tidurnya. “Mana?” sambil kubuka tanganku meminta sekepeng kembali.
“Apanya?” ia balik menanyai. Dengan muka paniknya, ia mengelak.
“Jangan berpura pura.” Kataku tenang. “Kembalikan. Itu bukan hakmu”
“Apa lagi? Aku tidak mengambil apapun” ia menolak disebut pencuri.
“Kamu mengambil sekepeng uang di laci. Aku melihatmu tadi. Sekarang mana? Aku tidak peduli. Mana?” aku masih mendesak.
“Ya Tuhan, aku benar benar tidak mengambil” ia masih tak mau mengakui.
“Mana? Atau aku sendiri yang akan menggeledah!” kesabaranku sudah hampir habis tapi aku masih berusaha memberinya kesempatan untuk menunjukkan iktikad baik.
Yadin, seekor tikus kecil lain marah dan ia mendesak tikus kecil ini untuk mengaku “Jangan macam macam. Masih kurang apalagi hingga kau berani mencuri. ”
Si tikus pencuri semakin panik. “Aku benar benar tidak mencuri kok”
Yadin turun dari dipannya dan naik ke dipan wahyu. Ia menyingkap kain seprei dan menemukan sekepeng uang pemberian orang yang tadi diambilnya. “Ini kak”. Ia menyerahkannya padaku.
Wahyono, si tikus pencuri tak berkutik. Keringat dingin muncul dari dahinya. Ia tak bisa berkata kata. “Memalukan. Apa yang akan kau harapkan dari kebaikan Ibu dan Bapak Kucing yang telah merawatmu?” aku memarahi.
“Mereka sudah berbaik hati menampungmu dan kamu sama sekali tidak tahu rasa terimakasih. Kamu sudah membuat banyak sekali masalah. Sedangkan mereka berdua sama sekali tidak ingin mendapatkan balasan kebaikan apapun atau uangmu sekalipun atas kebaikan mereka merawatmu”, kataku berapi apu dalam ketenangan, disaksikan puluhan kucing dan tikus lain yang menonton dari dipan dipan mereka.
Si tikus pencuri tak bisa menjawab. Ia telah ketahuan dan ia tak bisa lagi berkutik. Aku membuang muka dan berjalan sambil lalu menahan emosi yang membuncah.
Tikus nakal itu adalah salah satu dari tikus terbaik di tempat ini. Ia ditinggalkan keluarganya karena orang tuanya berpisah dan tidak ada satupun anggota keluarga lain yang mau merawatnya. Ia diusir dari rumah karena kelakuannya yang dianggap tak dapat tertangani. Bahkan ibunya tidak sudi lagi berurusan dengannya karena ia terlalu sibuk mengurus dirinya sendiri. Sungguh menyedihkan. Betapa tega seorang ibu menelantarkan anaknya sendiri.
Aku menghela nafas. Akan ada dua masa depan untuk si tikus itu. Ia akan jadi salah satu anak terbaik dengan prestasi brilian jika ada yang bisa mengarahkannya mencapai cita citanya. Atau.. jadi salah satu seorang penjahat paling berprestasi di masanya. Sungguh, aku mengharapkan yang pertama.